"Satu kopi (film impor) kira-kira Rp 2 Juta. Kalau judul film yang masuk ada 50 kopi, maka mereka bayar Rp 100 juta. Bandingkan dengan film nasional dengan biaya hingga Rp 5 miliar, ia harus bayar pajak Rp 500 Juta. Kalau biayanya Rp 15 miliar dia bayara Rp 1,5 miliar," kata Rudy seusai diskusi "Film Nasional Pascapemboikotan Film Hollywood" yang diadakan oleh Delta FM, Obsat dan Tempointeraktif.com, Rabu (23/2) malam.
Menurut Rudy, pajak untuk film nasional mencapai sepuluh kali lipat lebih tinggi dari pajak film impor. "Yang kita perjuangkan sekarang adalah supaya pajak film nasional harus lebih kecil dari film impor," katanya.
Jumat pekan lalu, MPAA mengancam akan menarik film-film Hollywood apabila pemerintah memberlakukan bea masuk film sebesar 5-15 persen di samping ketentuan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan sebesar 23,75 persen dari nilai barang. Selain itu, pemilik film juga menyetor pajak penghasilan (15 persen) dan pajak tontonan kepada pemerintah daerah (10-15 persen).
Rudy mengatakan, tidak ada kebijakan baru soal pajak film impor tersebut. Menurutnya, pemerintah hanya berniat betul-betul menegakkan kembali peraturan yang sudah ada. "Saya yakin, mereka (importir film) masih mengambil keuntungan yang besar. Boikot terjadi kalau rugi. Cuma, kalau untung berkurang seharusnya enggak usah boikot," katanya.
Rudy mengatakan, importir film tetap meraup untung setelah pemberlakuan kebijakan pajak ini. Bahkan, apabila pajak dinaikkan, ia memperkirakan dalam setahun importir film masih bisa meraup Rp 700 miliar dari film-film yang diputar di bioskop setelah dipotong pajak Rp 100 miliar. "Keuntungan itu kan masih lumayan," katanya.
MUSTHOLIH