Tepat pada malam Valentine, 14 Februari lalu, penonton yang memenuhi ruang pertunjukan Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, diajak merayakan keindahan cinta dalam perhelatan musik bertajuk Valentine’s Concert Violin-Piano Duo Recital. Sepanjang dua jam, penonton disuguhi nada-nada memikat dari karya-karya apik gubahan komponis dunia, yang dipersembahkan dua musisi yang mumpuni di bidang masing-masing itu.
Teguh Sukaryo bisa dikatakan sebagai garda musik klasik di masa ingar-bingar hiburan saat ini. Ia pernah berguru kepada Jon Kimura Parker, Peter Takacs, Michael Gurt, dan Carmel Lutton yang dikenal sebagai dewa komposisi piano kesohor di Amerika dan Eropa. Teguh juga dilatih oleh pianis legendaris Byron Janis dan Einar Steen-Nokleberg. Selain menggeluti bidang piano, Teguh menekuni dunia conducting. Guru-gurunya antara lain Profesor Paul Polivnick, Prof. Anton Krager, dan Prof. Frank Wickes.
Lelaki kelahiran Purwokerto itu meraih gelar sarjana di bidang piano dari Newcastle Conservatorium of Music, Australia. Ia dikenal memiliki kemampuan artistry tinggi dan teknik andal. Sederet penghargaan pernah diterima musisi yang meraih gelar Artist Diploma dari Oberlin Conservatory, dan Master of Music dari Rice University/Shepherd School of Music, Amerika Serikat, itu.
Pada 1997, misalnya, Teguh, yang tengah menyelesaikan program doktoral di Louisiana State University, Amerika, mendapat Top Prize di Armidale Open Piano Competition, NSW, Australia. Pada 2000, dia memperoleh Chamber Music Scholarship and Award di Sewanee Summer Music Festival, Amerika. Lalu, pada 2005, Beethoven Prize diraihnya di Grieg International Competition for Pianists, di Oslo.
Sampai kini, Teguh Sukaryo telah memiliki beberapa album, yaitu Teguh Sukaryo--Brahms, Mompou and Mussorgsky, Scenes of Childhood, Burgmuller Op. 100, dan Burgmuller Op. 109. Byron Janis menyebutnya, "Tremendous personality. Wonderful imagination."
Prestasi Mathias Boegner sebagai pemain biola juga tak kalah mengagumkan. Mathias adalah pemain biola berpengalaman. Lelaki berkebangsaan Swiss yang menimba ilmu dari para profesor seperti Gerhart Hetzel, Wolfgang Schneiderhan, Dorothy DLay, dan Aida Stucki itu pernah menjadi concertmaster di Stadtorchester Winterthur, Shanghai Broadcast Symphony Orchestra, concertmaster tamu bersama Orchestre de la Suisse Romande Geneve, dan pemain violin utama Thailand Philharmonic. Dia juga pernah diundang menjadi associate professor di University of the Art Taiwan (2004-2006) dan di Royal Mahidol University, Bangkok.
Kedatangannya ke Indonesia bukanlah untuk pertama kalinya. Pada 2009, Mathias pernah mengajar di Indonesia sebagai profesor tamu atas undangan DAAD (German Academic Exchange). Ia juga pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.
Melihat pengalaman dua musisi ini, tak mengherankan bila malam itu mereka mampu menyajikan permainan teknis yang spektakuler, penuh penghayatan yang memikat. Lihatlah bagaimana Mathias mampu menaklukkan nada-nada sulit saat membawakan komposisi Ballade karya E. Ysaye. Tak hanya menggesek dengan busur, dia juga menggunakan teknik pizzicato (memetik senar dengan jari tangan) untuk menghasilkan suara yang diinginkan.
Permainan solo piano Teguh pun tak kalah ciamik. Fantaisie-Impromptu gubahan F. Chopin dimainkan dengan apik dalam penghayatan yang dipadu dengan keandalan teknik sang pianis. Nada-nada rendah yang bertaburan di beberapa bar dimainkannya dengan sangat ekspresif. Ketika mencapai bagian yang didominasi oleh not-not tinggi, tubuhnya sampai membungkuk mendekati bilah tuts. Dengan cara inilah--termasuk menunjukkan ekspresi wajah jenaka--dia berkomunikasi dengan penonton.
Kekuatan teknis dan kemampuan mereka meracik irama terdengar harmonis saat bermain bersama. Masing-masing saling memberi ruang. Awalnya, mereka bermain dalam tempo lambat sehingga terdengar mellow, tapi kemudian berubah menjadi lebih cepat dan ritmis. Termasuk saat mereka membawakan Three Romances karya C. Schumann ataupun Fantasy C Major Op. Posth 159 dari F. Schubert. Sebuah kado Valentine yang manis bagi para penonton yang sebagian besar datang berpasangan itu.
Tak aneh bila penonton tak mau beranjak dari tempat duduk, meskipun pertunjukan telah berakhir dan lampu ruangan telah dinyalakan. Tepuk tangan panjang terus memaksa dua maestro kembali menunjukkan kebolehan mereka. Tak cuma sekali, penonton bahkan sampai tiga kali melakukan aksi “pemaksaan" itu. Pertunjukan baru benar-benar berakhir setelah Teguh mengintip dari balik tirai sambil menempelkan dua telapak tangannya yang menyatu di pipi pertanda hendak tidur.
Nunuy Nurhayati