Venna mencontohkan, untuk memproduksi sebuah film nasional, produser banyak dikenakan pajak berganda. Pajak itu mulai dari pajak bahan baku, pajak editing karena harus dilakukan di luar negeri, pajak pasca produksi, pajak karyawan, hingga pajak artis. Banyaknya pajak inilah yang membuat biaya pembuatan film nasional membengkak. "Film Laskar Pelangi biaya produksinya kira-kira Rp 5 miliar, Rp 500 juta diantaranya buat pajak," kata Venna yang juga berkecimpung di dunia keartisan ini.
Rendahnya penggenaan pajak film impor di Indonesia juga bisa dibandingkan dengan negara tetangga. Di Indonesia, biaya per copy film hanya berkisar Rp 1 juta, sementara di Thailand pengenaan biaya dilakukan dengan per meter. Karena itu tidak heran jika rata-rata biaya copy film di Thailand mencapai 30 kali biaya copy di Indonesia. "Sehingga menurut saya wajar jika ada kenaikan pajak atas film import," ujar Venna.
Meski mendukung pengenaan pajak bea masuk film import, namun Venna mengharapkan pendapatan pajak itu bisa dialokasikan ke dunia perfilman nasional. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas film nasional itu sendiri. "Itu yang harus kita kawal supaya film nasional kita bisa bersaing secara fair dengan film-film asing," tambah politisi Partai Demokrat ini.
Alokasi pajak untuk film nasional juga untuk menunjukan adanya keberpihakan pemerintah. Sebab, ujar Venna, film bisa digunakan sebagai alat pembangunan karakter bangsa. Film-film yang bermutu juga dipandang sebagai sarana efektif untuk penetrasi budaya.
Dia menyebutkan alokasi pajak film asing bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan perfilman nasional. Contohnya membangun perpustakaan film untuk keperluan riset, laboratorium, studio film, hingga sekolah perfilman. "Saya yakin kualitas film nasional bisa bersaing dengan film asing. Pertanyaannya ada support dana nggak. Nah dukungan dana ini bisa dilakukan dengan alokasi pajak. Jadi pajak film untuk dunia film," ucap dia.
Amirullah