Aktor kawakan Deddy Mizwar mengatakan, negara harus melakukan proteksi jika hendak membangkitkan gairah industri film Tanah Air. Dia mendukung pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen yang diterapkan pada ongkos pembuatan film. Rata-rata ongkos pembuatan film di Indonesia berkisar antara Rp 7 juta hingga Rp 8 juta. "Pajak film terlalu besar sehingga sebaiknya di-nol-kan," ujarnya, Ahad (20/2) malam.
Sementara itu setiap pita film bioskop yang masuk ke Indonesia hanya dikenai tarif bea masuk sebesar Rp 2 juta. Dia membandingkannya dengan besaran tarif bea masuk di Thailand yang mencapai Rp 30 juta untuk setiap pita film.
Dengan proporsi tarif yang ada sekarang, kata dia, pendapatan pajak dari film nasional masih lebih tinggi dibandingkan pendapatan pajak dari film asing. Padahal film asing yang beredar pada tahun lalu mendekati 250 judul film sedangkan film nasional hanya 80 film. "Dengan jumlah judul yang sedikit, pajak yang dibayarkan film lokal lebih besar, membuatnya tidak kompetitif."
Deddy mencurigai ada agenda tersembunyi di balik polemik pajak film impor ini. Asosiasi Produsen Film Amerika (MPAA), katanya, tak sekali ini menghambat pertumbuhan film lokal. Sebelumnya MPAA pernah menolak membuat laboratorium mastering di Indonesia sehingga pita film asing harus digandakan di luar negeri.
Jumat lalu, Motion Pictures Association of America (perwakilan produsen film Hollywood di Indonesia) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (perwakilan produsen film Mandarin dan India) menghentikan peredaran film-film mereka di Indonesia.
ANTON WILLIAM