"Biografi Gesang memang sudah ada. Tapi rasanya belum ada yang menulis hingga periode wafatnya beliau," kata Kastoyo saat peluncuran bukunya pada Sabtu (19/2) malam di kawasan Ngarsopuro, Surakarta. Materi bukunya sebagian besar berasal dari hasil wawancara Kastoyo dengan Gesang sejak 1979, saat dia masih menjadi wartawan percobaan di Majalah Tempo.
Hasil wawancara itu dikumpulkan dan dijadikan sebuah buku biografi. "Tentu saya tetap wawancara ulang untuk memastikan akurasinya," kata dia.
Kastoyo menampilkan sisi lain Gesang yang mungkin tidak banyak diketahui generasi sekarang. Misalnya tentang Gesang yang pernah dirampok seusai mengambil uang dari sebuah bank. Ceritanya, pada Januari 1997, menjelang Lebaran, pencipta lagu Bengawan Solo itu ingin membahagiakan keponakannya dengan membagi-bagikan uang.
Dengan mengendarai sepeda motor, Gesang mengambil sendiri uang sebesar Rp 6 juta. Uang tersebut lantas ditempatkan dalam plastik hitam dan diletakkan di setang sepeda motor. Sampai di depan rumahnya yang hanya berjarak 1 kilometer dari bank, tiba-tiba dua pemuda merampok uang tersebut. Gesang, yang saat itu berusia hampir 80 tahun, tak kuasa mencegahnya. Tapi, demi membahagiakan keponakannya, Gesang kembali lagi ke bank yang sama untuk mengambil uang Rp 5 juta.
Ada pula cerita tentang Gesang dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia karena bergabung dengan Lekra pada 1992. Gesang membantahnya dengan mengatakan bahwa ia sering pentas di berbagai tempat tanpa mempedulikan latar belakang pengundang.
Selain itu, lagu "Bengawan Solo" pernah pula dituding bukan asli ciptaan Gesang. Tuduhan tersebut tak pernah terbukti. Bahkan, tim investigasi dari Himpunan Artis Keroncong Indonesia memastikan "Bengawan Solo" benar-benar ciptaan Gesang.
"Ciri lagu Gesang khas. Tidak ada notasi bernada setengah atau kromatis karena seruling Jawa yang digunakan Gesang memang tidak ada nada kromatis," kata ketua tim, Anjar Any, dalam pernyataannya di buku tersebut.
Buku setebal 164 halaman itu diselesaikan Kastoyo dalam waktu tiga tahun sejak 2008. Proses penerbitannya bekerja sama dengan Yayasan Gesang. Edisi perdananya dicetak tiga ribu eksemplar. Satu hal yang menjadi catatan penting penulis, Gesang selalu menjadi sosok yang sederhana dan rendah hati, baik ketika masih melarat dan hidup seadanya maupun saat sudah kaya dengan royalti yang dia terima.
Ketua Yayasan Gesang, Didit Bagus Pratondo, menyebut buku itu terlambat terbit. "Seharusnya saat beliau masih hidup, tapi gagal karena belum siap," katanya. Dia berharap biografi Gesang dapat memberi inspirasi bagi generasi muda, terutama mereka yang belum sempat mengenal Gesang.
Salah seorang adik Gesang, Toyib Martodiharjo, sangat bangga dengan kiprah Gesang di dunia keroncong. Penerbitan buku biografi ini sebagai salah satu contoh bahwa karya Gesang memang dihargai. "Semoga biografi Gesang dapat membantu memasyarakatkan keroncong sesuai wasiatnya," ucapnya.
UKKY PRIMARTANTYO