TEMPO Interaktif, Yogyakarta– Ketua Umum Jogja Art Share Totok Sudarto melaporkan Direktur Eksekutif Jogja National Museum (JNM) KPH Wiroinegoro ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta karena dianggap telah menggelapkan dan merusak artefak sisa bencana Merapi yang dipamerkan. Barang-barang yang dipamerkan di JNM pada Desember 2010 lalu digelapkan dengan cara dijual rongsokan dan sisanya dibakar.
“Rabu (16/2) kemarin akhirnya kami laporkan,” kata Totok di Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (18/2) sore.
Menurut mantan Wakil Bupati Bantul itu, sedikitnya ada 80 artefak yang dijual Wironegoro. Diantaranya berupa rongsokan mobil dan motor yang hancur akibat erupsi Merapi. Selain itu ada meja-kursi, gelas, tabung gas, peralatan dapur, bekas atap rumah hingga peralatan rumah tangga lain yang juga rusak akibat bencana Merapi.
Barang-barang itu diperoleh Totok dengan cara meminjan dari warga Dusun Ngepringan Desa Wukisari Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta yang menjadi korban bencana Merapi. “Jika dibakar atau dibuat manusia, (bentuknya) tak akan seperti itu,” kata dia.
Sebelumnya bersama ratusan karya seni lain, artefak itu dipamerkan dalam pameran seni rupa di JNM dengan tema Jogja Gumregah Jogja Bangkit selama 14 hari dari 10-24 Desember 2010 lalu. Artefak itu dipamerkan di lantai 1 dan disusun ulang untuk merekontruksi ruang tamu, dapur, ruang pertemuan hingga atap rumah warga yang menjadi korban merapi.
Secara kronologis, menurut Totok, penjualan dan pembakaran artefak itu bermula dari saat pameran telah berakhir, 24 Desember. Hingga dua hari kemudian, pada 26 Desember, pembongkaran berakhir. Meski telah dibongkar, artefak itu tak dapat segera diambil dari JNM dan dikembalikan ke warga. Sesuai dengan persetujuan Wironegoro, artefak itu akhirnya dititipkan ke JNM dan disimpan di salah satu ruangan di lantai 1.
Karena kesibukannya, hingga awal Januari Totok belum dapat mengambil artefak itu. Dan pihak JNM pun memindahkan barang itu, dari dalam gedung ke pendapa Sasana Ajiyasa. Pemindahan tak berhenti. Dari tempat itu, lanjut Totok, tanpa sepengetahuannya, artefak kembali dipindahkan ke luar pendapa dan hanya ditutup terpal pada 23 Januari.
“(Dipindah) di bawah pohon beringin,” kata dia. Kendati demikian, “Saya masih berterimakasih masih diberi tempat disana,” kata dia. Baru pada 11 Februari kemarin, saat hendak mengambil, Totok tak mendapati artefak itu di tempatnya.
Dia mengatakan setelah ditelusuri, ternyata artefak itu dijual pada seorang pengepul barang bekas tak jauh dari gedung JNM di jalan Amri Yahya Yogyakarta seharga Rp 1,7 juta. “Dijual rongsokan, semuanya ada 660 kilogram,” kata.
Upaya kembali mendapatkan artefak pun dilakukan Totok. Dia datangi pengepul itu dan hasilnya barang telah dijual kembali ke seorang penadah barang bekas di sekitar Prambanan. “Dari sana, barang itu sudah dijual ke Surabaya dan dilebur sebagai besi bekas,” kata dia.
Menanggapi hal itu, Wironegoro menilai panitia pameran tak bertanggung jawab menjaga barang-barang yang dipamerkan. Berkali-kali selama sebulan lamanya seusai pameran, dia hubungi panitia pameran melalui telepon tapi tak sekalipun mendapat jawaban. “Hingga akhirnya JNM turun tangan sendiri,” kata dia tanpa terperinci menjelaskan maksudnya turun tangan.
Kalaupun sampai dipindah hingga tiga kali, kata dia, itu karena panitia tak pernah mengurusi barang miliknya. Mereka dianggap tak profesional dalam bekerja. Sementara acara pameran dan kegiatan lain di JNM harus tetap berjalan dengan memanfaatkan ruang yang ada. “Di Jogja, saya ini hanya abdi budaya,” kata dia.
Terkait dengan masalah hukum yang kini menjeratnya, Wironegoro menyatakan tetap akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. “Silahkan saja (melaporkan),” kata dia, “Saya tidak kebal hukum.”
ANANG ZAKARIA