TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Monalisa. Sosok wanita misterius yang hadir lewat lukisan Leonardo Da Vinci itu berganti baju. Tak lagi gaun cantik namun baju besi, yang lazim dikenakan para ksatria dalam peperangan. Keduanya tangannya masih saling menyilang di depan badan. Bedanya, kali ini sepasang sendok-garpu tergenggam di tangan kirinya, lengkap dengan sebuah piring.
Bukan hendak mengolok-olok, namun itulah refleksi Rosit Mulyadi, perupa muda berusia 22 tahun untuk ibunya. Bersama dengan 17 karyanya yang lain, lukisan berjudul Iron Mom berukuran 100 X 80 sentimeter itu dipamerkan dalam pameran tunggal bertema Around Me di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta, 17 Februari-3 Maret 2011.
Senyum Monalisa, bagi mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, adalah misteri. Sama dengan senyum milik ibunya yang selalu ditemuinya tiap hari. “Saya kadang tak pernah tahu, apa ibu susah atau senang,” kata dia usai pembukaan pameran, Kamis (17/2) malam kemarin, “Yang jelas, beliau selalu tersenyum untuk anaknya.”
Lebih dari itu, dia pun menganggap ibunya sebagai sosok perkasa. Layaknya ksatria berbaju zirah bertempur di medan pertempuran, ibunya pun telah berjuang menghidupi anak-anaknya. Meski kesulitan hidup kerap menyergap, namun tak sekalipun tangan tertengadah.
Karakter itu, kata Rosit, selain dia gambarkan dengan baju besi yang dikenakan, juga pada bentuk piring di genggaman tangan. “Piringnya telungkup, bukan tengadah ke atas,” kata dia.
Tema Around Me sengaja dipilih karena belasan karya yang dia pamerkan terinspirasi dari orang, benda hingga peristiwa di sekitarnya. Merapi Inside 2010 misalnya. Dilukis menggunakan cat akrilik di atas kanvas berukuran 140 X 180 sentimeter, karyanya itu menggambarkan aktifitas vulkanis gunung Merapi. “Dibuat saat Merapi erupsi,” kata dia.
Di atas kanvas itu, Rosit menggambarkan satu set mesin yang tertanam di dalam perut Merapi. Ibarat mesin, dalam diam dan tenang, ternyata Merapi terus beraktifitas. Terus menerus dan tak berhenti.
Atau ada juga lukisan berjudul Menanak Bumi. Lukisan itu sekaligus mencerminkan kegelisahan tentang kondisi lingkungan. Sebuah bola dunia digambarkan meleleh karena panas di dalam rice cooker. Tiap detik berlalu, pemanasan global telah menjadi ancaman bagi bumi yang telah berusia renta.
Rosit Mulyadi adalah peserta artist in residence ke-6 di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta. Program itu sengaja dilakukan secara berkeseinambungan tiap empat bulan untuk satu perupa muda yang dianggap berbakat dan berusia di bawah 25 tahun.
Kepala Rumah Tangga Tembi Rumah Budaya Yogyakarta Basmara mengatakan mereka dibekali sedikit uang saku dan dikontrakan rumah selama itu. Disana, mereka diminta “menyepi”. “Untuk merenung,” kata dia.
Sebagai timbal baliknya, perupa peserta artis in residence harus menghasilkan karya selama menjalani program. Selanjutnya, karya mereka akan dipamerkan secara tunggal. Sebelum dipamerkan di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta, karya-karya Rosit itu pernah dipamerkan di Tembi Rumah Budaya Jakarta, 19 Januari-3 Februari 2011 lalu.
Perupa senior Rain Rosidi menilai program itu cukup membantu perkembangan dan proses penciptaan kreatifitas perupa muda. Untuk kian mematangkan kemampuan, seorang perupa membutuhkan lebih dari pengalaman dan pengetahuan di dalam kampus. “Tapi juga butuh pengenalan yang lebih luas dengan dunia di sekitarnya,” kata dia.
Dan, Rosit telah membuktikan itu. Bahkan, dia dianggap cukup produktif dalam berkarya. 18 karya lukis telah tercipta dalam waktu tak lebih dari 4 bulan lamanya.
ANANG ZAKARIA