TEMPO Interaktif, Jakarta - Mata kita akan terteror oleh kehadiran warna perak. Warna yang sedikit sulit dipadukan dengan warna lain karena efek kilap yang dihasilkan ini cenderung dihindari oleh seniman lukis. Tapi tidak bagi Tommy Wondra.
Tommy, dalam pameran tunggalnya berjudul In Silence: The Study of Silver Color, sengaja memilih warna perak lebih didasarkan pada keinginannya mencari apa yang mungkin dilakukan warna yang tidak banyak dipakai dalam lukisan. Pameran itu berlangsung hingga 20 Februari nanti di Edwin's Gallery, Kemang, Jakarta Selatan.
Warna memang tak selalu bebas makna. Setiap mata memandangnya dengan persepsi tertentu. Ada makna yang terwakili olehnya. Kurator pameran Alia Swastika, dalam catatan kuratorialnya, menyatakan Tommy, dengan kecenderungannya sendiri yang banyak menjelajahi konsep dan gagasan dasar tentang bentuk, lebih tertarik melihat perak hanya sebagai warna, sebagai elemen artistik, ketimbang mengaitkannya dengan makna sosial tertentu.
Dengan begitu, Alia menambahkan, kehadiran benda-benda dalam lukisan menjadi tak terlalu penting. Barangkali obyek tersebut diposisikan menjadi alat untuk mendekati fenomena warna perak itu.
Dalam pameran-pamerannya terdahulu, Tommy banyak berkutat dengan soal teknis untuk menggambarkan obyek sepele dan nirmakna. Maka akan kita lihat, ia banyak bergelut dengan teknik realisme. Bahkan, dalam beberapa karyanya, tak terlihat ada pendobrakan terhadap narasi besar atas fenomena sosial dengan ekstrem.
Karya-karya seri Diam yang ditampilkan kali ini memang dihadirkan dengan dominasi perak. "Warna ini dihadirkan sebagai suatu kenyataan visual yang absolut dan tak terbantahkan," kata Alia dalam katalog.
Tommy seolah ingin menarik kita melihat obyek realis itu lalu membawanya dalam cara pandang yang berbeda dan mencoba memberi jarak pada realitas visual tersebut. Maka kehadiran obyek, seperti ulat-ulat yang menggerogoti lembaran seng berkarat dalam Diam #5, atau ikan-ikan yang tertutupi sebagian badannya dalam Diam #12, bagai tak memiliki narasi. Begitu saja hadir dan berdiri sendiri. Namun tak disadari justru kehadirannya menjadi pembanding atas warna perak yang mendominasi itu. “Kenyataan visual yang sepele bagi Tommy adalah sebuah cara mendekati apa yang substansial dalam sebuah benda," ujar Alia.
Yang juga menarik, Tommy selalu menghadirkan obyek penutup luka (band-aid) dalam tiap karyanya. Pada obyek yang muncul selalu tertempel bentukan tadi.
Mudah ditebak, kehadiran kode visual seperti ini membentuk makna pada karya lukis Tommy. Kisah besar yang membangun obyek-obyek ini barangkali tentang luka, entah dalam konteks besar entah dalam wilayah yang lebih personal. Tapi nyatanya memang begitu. Dunia semakin bopeng dengan banyak kerusakan di dalamnya, akibat bencana, akibat perang. Atau dalam pengertian humanisme, terlihat dalam karya Diam #18 bahwa penutup luka itu selalu mengait pada bagian tubuh manusia yang cacat.
Tommy melihat penutup luka semacam ini menjadi realitas yang tak bisa terhindarkan. Bahwa yang penuh luka bisa muncul ke permukaan menggantikan yang mulus dan penuh keindahan.
Dengan asosiasi itu, obyek realis yang dihadirkan Tommy tak lagi sesederhana itu. Boleh jadi ada refleksi akan narasi besar yang ingin disampaikan Tommy.
ISMI WAHID