Begitulah, setidaknya, imajinasi Decki '”Leos” Firmansah dalam pameran tunggalnya berjudul Monster Theatre di Nadi Gallery, Jakarta Barat, hingga 8 Februari mendatang. Decki mencoba mengadaptasi ikon-ikon film, komik, dan video game untuk menuangkan persoalan-persoalannya sendiri.
Aksi laga, humor hitam, bahkan kekerasan kerap muncul dalam karya-karya yang dihasilkan. Dalam katalog yang ditulis Farah Wardani, Leos – panggilan akrab Decki – justru sangat sadar bahwa pendekatan yang ia buat adalah tak nyata. Pandangan umum menganggap vulgaritas ini berpengaruh buruk untuk penikmatnya. Namun bagi Decki tidak begitu. "Ia dapat berefleksi tentang baik dan buruk dalam kehidupan nyata yang kadang lebih kabur dan tak masuk akal,” kata Farah dalam katalog pameran.
Decki mencoba menyeimbangkan antara realita dan fantasi. Ia menggunakan pendekatan artistik yang selalu mengolah ikonografi, gestur dan karakter tokoh dengan segala atribut gelapnya. Seperti monster, antihero, penjahat yang mudah ditebak bahwa ketokohan itu menyiratkan karakter sinis, brutal, kejam.
Tiap-tiap karya memiliki cerita sendiri. Seperti gambar komik yang ia gemari dari tangan komikus Lee Bermejo hingga seniman pop surealis Todd Schorr. Atau, karya sutradara laga film-film Hollywood, Sam Raimi dengan film superheronya, Spiderman.
Simak karya bertajuk Double Trouble in Blackwater. Imajinasi Decki akan mitologi monster Nessie di danau Lochness bercambur aduk dengan ikonografi seorang preman buron. Sebuah visualisasi yang sebetulnya terinspirasi oleh video game kegemarannya. Di sebuah danau yang diubah namanya menjadi Blackwater, buron itu harus menghindar dari dua musuh yang mengejarnya sekaligus, Nessie dan helikopter.
Lalu simak pula tiga karya yang menggambarkan rangkaian adegan aksi laga film Hollywood kelas B, Bad Drama in Borderland, Never Surrender, dan Bat Him When You're Ready. Ketiganya memperlihatkan pertarungan di sebuah perbatasan kota yang tandus. Karya ini adalah metafora Decki akan fase hidupnya yang sedang berada di persimpangan jalan. Siap bertempur dengan segala konsekuensi.
Ada juga dua karya Decki lainnya, yang sebetulnya melandasi semua karya dalam pameran tunggalnya itu: Under Pressure dan Angry Society. Decki menganggap karya ini mewakili apa yang dirasakan oleh banyak orang saat ini. Bagaimana tidak, orang-orang ditekan oleh kebijakan penguasa yang bagi Decki tak ubahnya seperti preman. Reaksi tak terduga dari masyarakat yang justru menjadi pemarah, siap menyalak ketika diprovokasi. Ironisnya mereka tetap terkekang tanpa menemukan solusi.
Angry Society sangat gamblang menggambarkan betapa masyarakat yang terperangkap oleh emosinya sendiri. Decki membubuhkan mata-mata yang tak lagi punya ruh. Sepasang mata dengan sorot yang angkuh, dingin dan tak bersahabat. Mereka membawa anjing – sebetulnya lebih mirip monster – yang siap menyalak dan menghardik siapapun.
Bagi Decki, karya-karyanya itu adalah caranya menuangkan serpihan-serpihan situasi. Farah menuliskan bahwa pendekatan semacam ini membuat Decki mampu merasionalkan dan menerima apa yang terjadi di sekelilingnya: kekerasan bisa muncul setiap saat dan hadir dalam imajinasi yang tak terduga sebelumnya. Televisi, surat kabar, bahkan internet. Sangat dekat meskipun berjarak.
ISMI WAHID