TEMPO Interaktif, Denpasar - Wajah-wajah raksasa menyembul ke permukaan. Mereka siap memakan dan menerkam segala hal yang terikat oleh waktu dan keadaan. Lidahnya menjulur dengan mata yang membelalak liar. Ia menebar teror dan ancaman di balik dunia gelap yang berada dalam kuasanya.
Begitulah cara pelukis tradisional Bali, Ketut Budhiana, menggugah kesadaran akan waktu dan kehidupan. Dalam lukisan bertajuk Butakala Lahir, Budhiana hendak menyatakan tak semestinya kita lengah, karena detik demi detik, hari demi hari, sang Kala (dewa penguasa waktu) terus-menerus mengintai. "Jadi, kita harus menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya," ujarnya.
Mitos tentang Kala merupakan salah satu mitologi kuno dalam khazanah pemikiran orang Bali. Bersama aneka mitologi lainnya, kini karya pelukis gaek kelahiran Padangtegal, Ubud, pada 1950 itu dipamerkan di Bentara Budaya Bali hingga 7 Februari mendatang. Kabarnya, mitos itu bersumber dari kisah-kisah dalam Ramayana dan Mahabharata. Ada juga mitos lokal khas Bali, seperti leak dan ilmu hitam.
Setelah berabad-abad, mitos-mitos itu tetap dipelihara melalui bermacam medium kesenian, salah satunya lewat seni rupa tradisional Bali, yang digunakan dalam pelbagai upacara. Budhiana adalah pemelihara langsung tradisi itu, dalam perannya sebagai seorang sangging—seseorang yang ditunjuk oleh komunitasnya untuk menjadi pembuat perlengkapan upacara adat.
Namun, dalam perjalanannya, ia juga berusaha melakukan kontekstualisasi visual dengan tema-tema kontemporer. Wawasan teknisnya kian berkembang setelah ia mengikuti pendidikan formal di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Denpasar. Ia juga beruntung karena sempat belajar kepada perupa Belanda, Rudolf Bonnet.
Karena itu, karya Budhiana bukan sekadar lukisan tradisional yang cenderung mengulang tema maupun bahasa rupa yang sudah baku, tapi juga merupakan ekspresi pribadinya. Lihatlah bagaimana dia menggambarkan polah para leak saat bertamasya. Selain wajah menyeramkan yang tergurat dalam warna gelap, lukisan itu mengundang senyum karena "mempelesetkan" gerakan para leak menjadi adegan sirkus yang mengundang tawa.
Karakter pribadi itu menjadi lebih menonjol ketika ia melukiskan berbagai adegan seks menyimpang yang aneh. Sebab, pelakunya adalah pria atau wanita yang berhubungan dengan hewan-hewan, seperti katak dan sapi. Budhiana rupanya sedang memvisualkan pemikiran akan bahaya syahwat yang membuat seseorang setara dengan binatang. Cerita-cerita itu juga bisa ditemui dalam kisah-kisah masa silam yang hidup dalam masyarakat.
Bagi Budhiana, karya lukisnya merupakan cerminan energi semesta, keseimbangan di antara dua kutub hakiki, seperti yang direfleksikan oleh Pradana-Purusha, Dewa-Detya, antara Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuana Agung (makrokosmos). "Keduanya tidak berlawanan, melainkan memiliki keinginan untuk berpadu menjadi energi kosmis yang lantas membentuk semesta ini," katanya.
Menurut pengamat seni Jean Couteau, yang menjadi kurator pameran, aneka figur ganjil dalam latar warna yang terkesan temaram bisa mengundang penikmatnya masuk ke pusaran ketakutan nan mencekam. "Budhiana menyentuh dunia bawah sadar, yang pesonanya membuat kita terseret di dalam kengerian yang mendalam sekaligus penuh dengan kesangsian," ujar pria asal Prancis itu.
Budhiana, Couteau menambahkan, bisa disebut sebagai perupa dengan stilistik "fantastik", di mana karya-karyanya sarat dengan kekuatan ekspresi simbolisme kosmis, melampaui apa yang selama ini dikenal dalam lukisan Bali tradisional yang telah baku itu. Meski berangkat dari seni rupa tradisional Bali, Budhiana mengolah ikon-ikon baku itu menjadi bentuk pengucapan yang personal dan menjadi cirinya yang paling khas.
Kehadiran sosok Budhiana menjadi penanda penting akan keberlangsungan seni rupa Bali yang menjalin masa lalu dan masa depan dalam kekinian. Ini yang membuat batas-batas antara seni kontemporer dan tradisional menjadi sangat tipis. Budhiana sendiri beruntung karena terlibat langsung dalam pergulatan di antara keduanya. Kehadirannya mendapat apresiasi yang luas hingga ia diundang pameran di museum dan galeri terkenal di Jepang, Australia (1977), Amerika Serikat (1990, 1992, dan 1995), Singapura (1994), dan Barcelona (1998).
Bentara Budaya Bali menjadikan pameran Budhiana sebagai peneguhan bahwa aktivitas seni rupa Bali bukan sekadar kegiatan aksi dan mereaksi perkembangan di luar dirinya. “Seni rupa Bali berkembang dengan ciri dan kepribadiannya sendiri," kata Putu Fajar Arcana. “Karena persoalan tren yang menjadi pusaran seni rupa tidak akan membuat seniman di Bali mati angin dan berhenti berkarya bila karya mereka tidak laku di pasaran," kurator Bentara Budaya Bali itu menambahkan.
ROFIQI HASAN