Wajah tua Sri Muhayati tampak tegar meski dari sorot matanya tersirat kegalauan hatinya. Pada 2000, hanya bersumber pada pohon kelapa besar yang tumbuh di tengah hutan di kawasan Wonosobo, Jawa Tengah, Sri meminta bantuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melacak kuburan ayahnya bernama Muhadi.
Ayahnya, menurut kabar yang beredar, diduga sebagai salah satu pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dibunuh massal pada 1965. Sri tentunya tak berharap banyak dapat menemukan tulang-belulang jasad ayahnya secara utuh. “Ketemu secuil saja saya sudah bahagia,” ujarnya lirih.
Kegigihan Sri itu terekam dalam sebuah film dokumenter berjudul Mass Grave, Digging Up The Cruelties (An Indonesia's Forgotten Barbarism). Film berdurasi 26 menit karya Lexy Junior Rambadetta itu diputar di Gothe-Institut Jakarta oleh In-Docs, lembaga nirlaba yang aktif dalam pengembangan film dokumenter di Indonesia, pada Selasa petang lalu.
Mass Grave, yang dibuat pada 2001, memperlihatkan peristiwa pemakamam kembali puluhan korban pembunuhan massal sepanjang 1965. Ketika kuburan massal itu dibongkar, tim forensik menduga ada sebanyak 21 orang yang mati ditembak. Di lokasi itu ditemukan potongan peluru, lencana, dan cincin
Dalam film dikisahkan, tujuan penggalian itu dilakukan oleh keluarga agar jasad para korban dapat dikebumikan dengan layak. Namun, ternyata niat itu mendapat hambatan keras dalam pelaksanaannya. Warga setempat terang-terangan menolak keras. Sejumlah spanduk yang menolak sisa-sisa jasad itu digali dibentangkan di sana. “Karena ini bukan daerah PKI,” kata seorang pejabat berpakaian batik pada Sri.
Meski berdurasi pendek, Mass Grave tampil padat dengan banyak narasumber, seperti Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Sosiolog Arif Budiman, Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dan Sulami – seorang nenek salah satu korban yang masih hidup dan pernah dihukum 20 tahun penjara oleh rezim Soeharto. “Saya pikir tak akan pernah hidup lagi. Dan sekarang saya hidup, ini kesempatan membongkar kejahatan yang tidak ada tangannya ini,” tutur Sulami seraya menangis.
Semasa hidup, almarhum Gus Dur yang pernah mengajak masyarakat melupakan luka lama tentang PKI pun ditentang habis. “Sejarah kita ini gelap. Kesalahan politik oleh Orde Baru dilimpahkan sepenuhnya pada PKI,” ujar Gus Dur.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang juga kena imbas gempa politik 1965, menilai bahwa pembunuhan itu sebagai yang terbesar di abad ini. “Orde Baru dibangun bekerjasama dengan negara lain dan sayap Angkatan Darat, yakni Soeharto. Agar mudah untuk memerintah adalah membunuh,” kata Pram dalam film tersebut.
Selain Mass Grave karya sutradara Indonesia, dalam acara screenDocs Reguler itu juga diputar film dokumenter arahan sutrdara Jerman Malte Ludin. Bertajuk 2 or 3 things I Know about Him, film berdurasi 85 menit itu berkisah tentang perasaan keluarga anggota Nazi, Hanns Elard Ludin. Dalam sejarah Nazi, Ludin dikenal sebagai pejabat militer yang setia pada pemimpin tertinggi Nazi: Adolf Hitler. Ia juga yang membuat skenario pembantaian orang-orang Yahudi dan keturunannya, yang disekap di ruang gas beracun.
Yang menarik, sutradara pembuat film ini, Malte Ludin, adalah anak kandung Hans Elard Ludin. Ia mewawancarai seluruh saudara kandungnya tentang perasaan mereka menghadapi kenyataan bahwa sang ayah adalah seorang Nazi yang keji. “Saya membuat film ini setelah ibu saya meninggal. Kalau tidak saya tidak berani,” ujarnya.
Selain mewawancarai, sutradara Ludin juga membeberkan surat-surat rahasia negara kala itu, perihal tugas pembantaian dan surat putusan pengadilan terhadap hukuman gantung yang dijatuhkan pada ayahnya sendiri.
Usai kematian Ludin, persemayamannya memang tidak pernah dipublikasikan. Namun, dalam film ini diperlihatkan di sebuah pemakaman usang Bratislava, Slovakia, bersemayam seonggok makam bernisan sebatang kayu, di bawah salib tertulis inisal H.E.L.
Dalam diskusi singkat seusai pemutaran film, sastrawan dan mantan tahanan politik, Putu Oka, menilai bahwa kedua negara ini memang memiliki sejarah yang sama-sama kelam. “Bedanya, permasalahan Nazi telah usai, namun persoalan yang ditinggalkan Orde Baru belum kelar,” katanya. “Negeri ini belum jernih melihat sejarah.”
Menurut Oka, dokumentasi juga menjadi kendala penuntasan masalah ini. “Di Jerman, tiap orang punya dokumentasi sendiri, yang menjadi jejak mereka, di Indonesia tidak. Bahkan hingga kini penjara Bukit Duri saja fotonya tidak ada,” ujarnya.
AGUSLIA HIDAYAH