Ya, kenangan-kenangan itu tersimpan rapi dalam ingatan Wun Wu Cha (72), Liu Mein Sin (92), Tsu Suk Fa (81) dan banyak yang lain. Orang-orang ini sudah sepuh. Mereka, yang pernah bertahun-tahun menetap di Singkawang, Kalimantan Barat, kini pulang ke Tiongkok. Mereka kembali ke kampung halamannya di daratan Cina pada 1950an hingga awal 1960an silam.
Kisah orang-orang Cina Singkawang yang kembali pulang ke Tiongkok tersaji dalam sebuah pameran foto bertajuk Memoar Orang-Orang Singkawang. Pameran foto karya Liga Merah Putih, yang digelar di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta, itu akan berlangsung hingga Senin pekan depan.
Mereka menyebut dirinya “pulang” dan bukan “pergi”. Sebab begitulah memori akan Singkawang, daerah yang sebelumnya tak mereka kenal menjadi rumah bagi mereka.
Lihatlah betapa memori itu masih lekat. Foto-foto kenangan almamater SMP Nan Hwa Cina Selatan adalah satu-satunya sekolah menengah pertama di Singkawang. Atau foto yang memperlihatkan selimut merah strip hitam yang sedang dijemur di pelataran rumah karya fotografer John Suryaatmadja. Selimut ini adalah benda wajib yang harus mereka bawa untuk pulang ke negeri empat musim itu.
Sementara itu, dalam foto tentang menu makan yang disebut di awal tulisan, Sjaiful Boen memotret dari balik jendela restoran itu. Yang tampak adalah sisi kota Guangzhou, Cina, dengan gemerlap lampu dan gedung-gedung tinggi. Di sanalah orang-orang Singkawang itu kerap berkumpul, di sebuah restoran Besar Bersama.
Ada juga karya Sjaiful yang memotret perkebunan teh besar di daerah Da Nan Shan, Guang Dong. Banyak orang-orang Singkawang bekerja di sana. Selain di Da Nan Shan, beberapa dari mereka juga tinggal di perkampungan kecil Lufeng, Guangdong. John Suryaatmadja mengabadikan rumah-rumah tersebut yang masih belum diubah sejak 1960an silam.
Dan tiap-tiap orang punya kisah. Memori dengan teman, kerabat, tetangga atau siapapun yang membangun sejarah kehidupan mereka. Misalnya, Su Ai Ying, kini berumur 60 tahun, dalam frame karya John Suryaatmadja. Ibu Ying dalam kepulangannya ke Tiongkok pada 1953 silam membawa semua foto-foto kenangannya. Karena ia memang siap untuk tidak kembali ke Singkawang.
John, pada pameran itu, menyandingkan foto kenangan milik Ibu Ying ketika masih muda dengan wajah sepuhnya saat ini. Kerut-kerut wajah itu tak mengubah kecantikannya.
Ada lagi potret Wu Kwang Hai (70), masih karya John. Kini Kwang Hai menjadi peternak lebah. Seringkali ia membawa kandang lebah dan membawanya keliling wilayah dengan kereta untuk digembalakan. Lain halnya dengan potret Hong Nan Zong yang kini telah renta. Kakek berumur 93 tahun ini harus dipapah oleh kedua anaknya saat berjalan. Nan Zong adalah salah seorang yang membangun Stadion Kridasana, Singkawang.
Bisa jadi kisah mereka adalah kisah sederhana dari orang-orang kebanyakan. Tetapi dari merekalah sesuatu tak disuguhkan berlebihan, namun berharga. Kisah-kisah mereka, adalah cermin bagi kita semua, untuk Indonesia yang beragam dan berbeda-beda.
Maka dengan alasan itulah pameran ini dilangsungkan. Dalam pameran ini juga diperlihatkan foto-foto upacara Tatung di Singkawang. Ini adalah perhelatan budaya tatung keliling kota yang dilaksanakan untuk menghalau bala dan mengusir roh jahat pada perayaan Cap Go Meh tahun lalu. Karya-karya yang pernah dipamerkan di Galeri Salihara tahun lalu itu kini dihadirkan kembali dalam pameran tersebut.
ISMI WAHID