TEMPO Interaktif, Yogyakarta -Tak hanya murah harganya, di Yogyakarta, nasi bungkus dapat ditemui dimana-mana. Di angkringan, asongan di stasiun dan terminal, pedagang kaki lima atau warung pinggir jalan. Selain itu, nasi bungkus juga praktis dan enak dimakan untuk sarapan, makan siang dan malam.
Filosofi nasi bungkus itu lantas menginspirasi seniman Yogyakarta Budi Ubrux berkarya. Bermodal plat seng dan cat akrilik, dia membuat replika nasi bungkus berukuran raksasa. Panjang dan tingginya tiga meter dengan lebar dua meter. “Beratnya bisa 50 kilogram lebih,” kata dia ditemui di halaman gedung Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (7/1) sore. Di lobi gedung itu pula, karyanya dipajang berhari-hari sejak Desember lalu.
Dua puluh hari lamanya, Budi “membungkus”. Dia tak sendiri. Sejumlah seniman lain turut membantu pengerjannya. Lembaran seng pun berubah menyerupai bungkusan nasi. Laiknya bungkusan nasi yang terbuat dari koran, Budi menghias plat seng dengan berbagai tulisan koran. Berita per berita, dia tuliskan lagi di atas seng. Hasilnya, benar-benar mirip lembaran koran, lengkap dengan foto. Gambarnya Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto.
Menurut Budi, koran sebagai contoh tulisan pada karyanya itu benar adanya. Tema berita yang diambil adalah tentang keistimewaan Yogyakarta dan bencana Merapi. “Ada artikel korannya,” dia bercerita.
Sore itu, bersama sepasukan orang berpakaian prajurit kraton Ngayogyakarta Hadiningrat lengkap dengan senjata, juga puluhan seniman, karya seni berjudul “Nasi Bungkus untuk Jogja” itu diarak ke titik Nol kota Yogyakarta. Letaknya di ujung jalan Malioboro. “Untuk warga Jogja,” kata Ong Harry Wahyu, seorang seniman yang ikut mengarak karya Budi.
Menurut dia, nasi bungkus adalah pilihan tepat untuk menggambarkan Yogyakarta. Seakrab nasi bungkus, masyarakatnya multikulur dan hidup dengan menghargai pluralisme. Bahkan, saking populernya nasi bungkus di Yogyakarta, pada bencana Merapi lalu, antusiasme masyarakat menyumbang nasi bungkus cukup besar pada para korban di pengungsian. “Itu simbol gotong royong,” kata dia.
Secara simbolis, karya itu diterima Walikota Yogyakarta Herry Zudianto. Rencananya, replika nasi bungkus itu akan dipajang disana, mengisi ruang publik di Yogyakarta. Cara itu, lanjut Ong, sekaligus untuk mendekatkan seni pada publik. “Seni bukan milik seniman saja, tapi semua orang,” kata dia.
Jadi, jika anda berkunjung ke Yogyakarta dan mendadak melihat “sebungkus nasi raksasa” di tengah kota, itu adalah pesan. Maka, jangan harap ada nasi di dalamnya.
ANANG ZAKARIA