Kegelisahan HR Suhartono terhadap eksistensi batik jelas tergambar dalam karyanya. Simak lukisan berjudul Garuda yang dilukis di atas kanvas berukuran 77,5 X 52 sentimeter dengan cat akrilik. Suhartono menggambar seekor burung garuda dengan sesosok wayang menunggang di atasnya.
Di sini, Suhartono mengangkat kembali motif ornamentik batik-batik Jawa dalam lukisannya. Garis bulat ala batik kawung atau goresan garis panjang mirip batik sidomukti dia jadikan hiasan sayap dan ekor garuda. Adapun di sekeliling gambar utama, alumnus SSRI Yogyakarta tahun 1964 itu menambahkan hiasan berupa bangun segitiga, lingkaran dan gambar kupu-kupu. Bedanya, jika lazim batik Jawa berwarna cokelat, hitam atau putih, Suhartono memilih aneka warna untuk lukisannya.
Dalam pameran itu, Suhartono memajang 31 lukisannya. Tak hanya lukisan di atas kanvas, dia pun memamerkan karya dalam bentuk lukisan di atas kertas.
Sementara itu, Musyafiq menampilkan gambar-gambar dalam kisah wayang beber. Sebagai alumnus SSRI Yogyakarta tahun 1972 yang juga bergelut sebagai dalang wayang beber, Musyafiq hafal di luar kepala 24 babak dalam kisah wayang Panji itu.
Salah satu karyanya adalah “Gulungan Keenam”. Dilukis di atas kanvas sepanjang sekitar 4 meter dan lebar satu meter, lukisan itu menceritakan kisah babak ke 21 hingga 24 kisah wayang beber. “24 babak wayang beber dibagi dalam enam gulungan, masing-masing gulungan isinya 4 babak” kata Musyafiq, perupa asal Klaten, Jawa Tengah itu.
Gulungan Keenam adalah sepotong kisah. Gambarnya terdiri dari rangkaian wayang dalam berbagai posisi. Dari duduk bersimpuh, tegak berdiri dan sujud memohon. Dengan berbagai warna; merah, hijau, kuning, biru, putih dan hitam, lukisan itu lengkap dengan detil gambar dekoratif di tepiannya.
Lukisan itu bercerita tentang syukur Dewi Sekartaji karena kejahatan Prabu Kelana habis ditumpas oleh Raden Panji. Berbekal restu raja Kediri, Dewi Sekartaji dan Raden Panji akhirnya menikah dengan pesta sangat meriah. “Tujuh hari tujuh malam,” kata Musyafiq bercerita tentang kisah dalam Gulungan Keenam.
Ada 14 lukisan Musyafiq yang dipamerkan. Lukisan-lukisan itu dibuat sepanjang 1983 hingga 2007. Semuanya bertema tentang gambar dalam cerita wayang beber.
Perupa Agus Nuryanto hadir menampilkan wayang Purwo. Bedanya, gambar-gambar wayang dalam lukisannya telah dimodifikasi. Lukisan Super Hero, misalnya, adalah sebuah gambar Flash –sosok pahlawan dalam film fiksi- berkepala mirip petruk dalam cerita pewayangan. Hidungnya panjang dengan dua bulu menempel di atas telinga.
Selain “Super Hero”, ada tiga lukisan wayang lainnya karya Agus, lumnus SMSR Yogyakarta tahun 1989, yang dipajang dalam pameran itu. “Wayang adalah gambaran sifat manusia,” kata Agus yang bergelut dalam bisnis mebel itu.
Karyanya yang lain adalah Untuk Jogjakarta. Dalam lukisan itu, Agus menggambar simbol Kraton Yogyakarta dalam warna kuning. Dengan latar belakang kayon wayang berwarna hitam. Di kanan-kiri simbol itu, dia gambar dua sosok wayang yang saling berhadapan. Di atas dan bawah lukisan, Agus mewarnai lukisan dengan warna biru.
Menurut dia, lukisan itu melambangkan kosmologi Mataram. Kerucut kayon melambangkan gunung Merapi. Di tengahnya adalah Keraton Yogyakarta dan warna biru di bagian bawah melambangkan Laut Selatan.
ANANG ZAKARIA