Gunane panulak iku
Ngedohke bebaya pati
Dhemit setan ora doyan
Janmo dur wedi mring mami
Sarap sawan bali ndalan
Kala kalaning sumingkir
Syair Kidung Panulak itu didendangkan oleh sejumlah Santri Swaran dari Ngargayasa, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Diiringi rebana serta kendang, syair untuk tolak bala itu turut mengisi perhelatan seni-budaya Srawung Candi, yang digelar di Candi Sukuh, Karanganyar, pada Jumat dan Sabtu pekan lalu.
“Kidung Panulak merupakan ciptaan Paku Buwana X,” kata pimpinan Santri Swaran, Suripto. Dahulu, kidung tersebut sering didendangkan oleh para santri yang ada di Masjid Agung Keraton Surakarta. Melalui kidung itu, mereka berharap Candi Sukuh dapat terjaga dari segala kerusakan.
Dalam Srawung Candi tersebut, para seniman tidak sekadar mencari inspirasi dari cerita yang ada dalam relief Candi Sukuh. Mereka juga mencoba memberikan ‘perlindungan’ kepada candi sehingga membentuk sebuah simbiosis mutualiasme – hubungan dua pihak yang saling menguntungkan.
Kelompok Reog Bayu Seto dari Sukoharjo, Jawa Tengah, juga mencoba untuk ikut melindungi candi dari kerusakan. Reog tersebut melakukan ritual dengan mengelilingi candi. Reog, yang saat ini hanya sering digunakan dalam kegiatan karnaval itu, dicoba untuk dikembalikan kepada fungsi aslinya sebagai penolak bala.
Sajian dari seniman Indonesia yang dipentaskan dalam perhelatan Srawung Candi tersebut cukup menarik perhatian masyarakat desa sekitar candi. Maklum, rata-rata mereka menyuguhkan kesenian rakyat itu cukup dekat dengan masyarakat, dibanding performance art yang disuguhkan oleh belasan penyaji dari luar negeri dalam perhelatan kesenian tersebut.
Meski demikian, tidak semua penyaji dari dalam negeri menyuguhkan kesenian rakyat. Beberapa juga menampilkan seni kontemporer, seperti teater dan tarian. Salah satunya adalah Komunitas Seni Teku asal Yogyakarta yang menampilkan karya berjudul Brungkat.
Pementasan teater di bawah hujan deras itu dimulai dengan aksi teaterikal: merentangkan benang berwarna warni dari atas candi. Benang dengan gulungan yang cukup besar itu membentang dengan centang perenang, karena diikatkan dengan pelbagai benda di depan candi.
Aksi itu dilanjutkan dengan adegan pertemuan antara Werkudara dengan guru sejatinya, Dewa Ruci. Tidak ada kata yang terucap sedikit pun dalam pementasan tersebut. Olah gerak yang dilakukan menggambarkan cerita saat Werkudara masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci untuk mendapatkan wejangan tentang kehidupan.
Pementasan berdurasi sekitar 30 menit itu ditutup dengan kehadiran seorang pria yang membawa dua ranting kayu berwarna merah di masing-masing tangannya. Dia mengepakkan dua ranting itu seperti layaknya sayap. Pria tersebut memerankan Garudeya, burung raksana yang diceritakan dalam salah satu relief di Candi Sukuh.
Menurut sutradara Ibed Surgana Yuga, mereka ingin mengakrabi ruang sejarah, ruang mitologi, ruang sosial-budaya dan ruang fisik yang melingkupi Candi Sukuh. “Cerita tentang Dewa Ruci dan Garudeya yang sebenarnya tidak berkaitan, bertemu di candi ini,” ujar Ibed, yang banyak berkutat dengan mitologi itu.
Suguhan kontemporer lainnya adalah pementasan tari Purusa Pradana. Tari yang dibawakan oleh Agung Rahma Putra dan Kinanti Sekar Rahina itu disuguhkan melalui gerak yang menampakkan sebuah kekompakan dan kemesraan. Tarian tersebut bertolak dari konsep purusa pradana dalam Agama Hindu, yang memiliki makna tentang konsep penciptaan.
Menurut Agung Rahma Putra, konsep purusa pradana mirip dengan lingga-yoni yang berada di Candi Sukuh. Meski demikian, tarian itu diciptakan bukan semata-mata untuk dipentaskan dalam Srawung Candi. “Sudah pernah dipentaskan tahun lalu di Jepang,” kata Agung. Saat itu, tarian itu meraih Juara Ketiga dalam Festifal Next Dream 21 Dance Contest Volume 9 di Jepang.
Suguhan yang juga menarik adalah pertunjukan musik berjudul Bunyi Bagi Alam Semesta. Pertunjukan ini menjadi satu-satunya pementasan musik dalam perhelatan Srawung Candi. Dengan menggunakan alat musik Genggong atau Jew’s harp, I Wayan Sadra mampu menghasilkan suara-suara yang cukup jernih. Berbagai suara ditirukan, seperti suara burung, katak, hingga tetes air melalui alat musik yang dimasukkan di mulut tersebut.
Musik itu tidak dipersembahkan bagi penonton. “Ini musik untuk alam di lingkungan candi,” ujar Wayan Sadra. Pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta itu menilai, alam telah lama tersiksa dengan kebisingan yang diciptakan oleh manusia. Melalui musik tersebut, dia mencoba untuk menghibur alam.
Salah satu penampil yang tak kalah menariknya: Ketoprak Ngampung dari Surakarta. Kesenian rakyat yang cukup populer di masyrakat setempat itu menyuguhkan sebuah drama tradisional bertajuk Rukun Agawe Santosa.
Sesuai namanya, Ketoprak Ngampung, pementasan itu disajikan secara sederhana. Cerita yang dibawakan juga melekat dalam kehidupan masyarakat, yaitu tentang pemilihan lurah. Sayang, pementasan yang mampu mengocok perut penonton terganggu oleh hujan. Berbeda dengan ketoprak pada umumnya yang dimainkan secara indoor, Ketoprak Ngampung selalu dipentaskan di ruang terbuka.
AHMAD RAFIQ