Di atas kanvas itu, perupa I Dewa Made Mustika tampak tengah berdialog dengan alam lewat goresan-goresan cat akrilik. Perupa asal Bali itu menyapukan kuasnya, membuat gurat-gurat bebatuan, pepohonan, dan aneka tetumbuhan nan hijau lainnya. Made Mustika mencoba menorehkan imajinasi vsiual tentang alam ideal yang diinginkan semua manusia. Meski ada yang mati meranggas dan gersang karena bencana, alam itu tumbuh kembali berdasarkan siklus bumi.
Made Mustika, yang kini menetap di Yogyakarta, tengah berupaya menembus batas ruang imajinasi visualnya tentang alam. Hasil penjelajahan visualnya itu disuguhkan dalam sebuah pameran tunggal bertajuk Beyond Horizon di Galeri Apik, Plaza Radio Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Made Mustika menyuguhkan belasan lukisan karyanya yang dapat dinikmati para pencinta seni rupa hingga 18 Januari mendatang.
Sebagai perupa dari Pulau Dewata, Dewa Mustika tak lepas dari ikon budaya Bali, seperti barong, candi, dan tari kecak. Dari belasan karyanya itu sebagian besar terinspirasi oleh kekayaan tradisi di kampung halamannya. Lalu, ada juga yang terilhami alam gunung Merapi, Yogyakarta. Sisanya, lukisan-lukisannya menyoal masa depan nasib kehidupan bumi kita.
Salah satu lukisannya yang menarik berjudul Tetabuhan dari Gunung. Lukisan ini terinspirasi oleh meletusnya gunung Merapi yang ia saksikan langsung pada November tahun lalu. Di atas kanvas besar, Made Mustika menggambar sebuah gunung yang memercikkan lahar. Hawa panasnya menyembur hingga naik dan membentuk awan merah di sekelilingnya. Di bawahnya, bukit-bukit telah tandus dan mengering. Kata “Tetabuhan” digunakan Made Mustika untuk mengungkapkan irama letusan, yang dari kejauhan terdengar bak dentuman beduk.
Menurut kurator M. Dwi Marianto, perupa Dewa Mustika selalu disemangati oleh imajinasi dan rasa musikal yang ada dalam jiwanya. “Ketika melukis, ia nampaknya berpikir seperti ketika akan menabuh salah satu instrumen alat musik dalam satu grup gamelan,” tulisnya dalam katalog pameran. Memang, selain dikenal sebagai perupa, Dewa Mustika juga mahir bermain alat musik. Ia mahir meniup seruling dan handal menabuh gendang, gender, dan rindik.
Lukisan Made Mustika yang terlihat sangat kental dengan warna kekayaan tradisi Bali adalah karya berjudul Nyepi Sehari untuk Bumi. Ia menampilkan panorama alam di sebuah kawasan di Bali dari sudut pandang kejauhan, di atas bukit yang menghadap tiga pasang candi. Seorang pertapa yang digambar dari belakang tampak sangat takzim bersila, menghadap ribuan rakyat yang ikut bersemedi mengelilingi candi.
Selain kental warna kekayaan tradisi Bali, beberapa karya lainnya tampak bertemakan alam secara umum. Tengoklah lukisan bertajuk Memelihara Sarang Air, yang diartikan Made Mustika sebagai sumber kehidupan. Lalu, dalam karya Ciptakan Harmoni, ia menyuguhkan lukisan yang mengkontraskan dua sisi kehidupan perkotaan dan alam perbukitan. Di samping bangunan menjulang tinggi, puluhan warga kampung tampak bergotong-royong menanam bibit pohon. Bagi Made Mustika, terkadang pemandangan gedung yang tinggi di tepi danau memang indah, namun akan lebih indah lagi jika berdampingan dengan alam yang seimbang.
Ada sebuah lukisan yang menjadi ramalannya tentang kehidupan ambiguitas eksistensi manusia yang kental. Lukisan yang bertajuk 2020 itu menggambarkan betapa mahalnya sebuah lapangan bermain sepak bola untuk anak-anak di masa 2020. Hingga keceriaan itu harus tercurahkan di atas atap gedung pencakar langit. Bocah-bocah yang tinggal di lereng gunung bahkan terhimpit, karena lahan kosong pun tak tersisa. Yang tertinggal, mereka hanya bisa menikmati pertandingan itu sebagai pemandangan harian mereka.
Secara keseluruhan karya Made Mustika boleh dibilang cukup menarik. Lahir di Ubud, Bali, 25 Agustus 1974, ia menamatkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2000. Langkah perdana karir melukisnya ditandai lewat pameran di Art center Denpasar Bali pada 1994 lalu. Secara berkesinambungan, ia kemudian menggelar sejumlah pameran tunggal dan bersama di Yogyakarta, Surakarta, Bali, Magelang, dan Jakarta. Pada 1997, karya-karyanya juga pernah dipamerkan di Shangri-La Hotel di Singapura
Made Mustika dianugerahi The Best of Oil Painting oleh ISI Yogyakarta pada 1996. Dalam rentang tahun 1998 hingga 2000, ia menjadi finalis penghargaan Philip Morris Indonesia Art Awards V-VII.
AGUSLIA HIDAYAH