Saking padatnya, hampir tak tersisa sedikit pun ruang untuk sekadar bergerak. Alhasil, ruas Pantura tengah Cirebon menuju Indramayu pun lumpuh total pada Jumat (31/12) itu. Kendaraan yang hendak menuju Cirebon maupun Indramayu sudah dialihkan beberapa jam sebelumnya oleh polisi. Yang terjebak terpaksa memarkirkan kendaraannya ke pinggir jalan atau bahkan menumpang parkir di toko milik warga banyak ada di sepanjang ruas jalan itu.
Tujuan mereka cuma satu: melihat arak-arakan sedekah bumi yang setiap tahun rutin dilakukan di Astana Gunung Jati, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. "Waktu pelaksanaannya biasanya sebelum masa tanam padi dimulai dan masa panen ikan di wilayah Cirebon," kata Sutarmin Effendi, ketua panitia sedekah bumi Astana Gunung Jati.
Sedekah bumi merupakan wujud rasa syukur masyarakat petani maupun nelayan Cirebon terhadap sang penciptanya. "Kita telah diberikan bermacam berkah dari bumi Allah. Kini, saatnya kita yang berterimakasih atas semua berkah itu," kata Sutarmin. Wujudnya, selain berdoa, juga dengan membuat berbagai macam replika, mulai replika binatang, orang, wujud wayang dan lainnya.
Dulunya, yang diarak bukanlah replika seperti sekarang ini. Tapi berupa gerobak yang berisi hasil bumi warga, mulai dari padi, ikan, kelapa dan lainnya. Hasil bumi itu diarak di sekitar desa lalu dibawa ke pendopo yang ada di depan Astana Gunung Jati, tempat Sunan Gunung Jati dan keluarganya dimakamkan. Setelah didoakan, warga pun memperebutkan makanan yang sudah diberkahi tersebut.
Kini, seiring dengan perkembangan zaman, wujud rasa syukur pun berubah. Warga membuat replika untuk kemudian diarak. Mereka dibagi berdasarkan kelompok wilayah. Seperti warga RT 01 RW 02, Desa Mertasinga, Kecamatan Gunung Jati yang membuat replika Gunung Merapi lengkap dengan letusannya. "Kami terilhami dengan meletusnya Gunung Merapi dan Gunung Bromo," kata Nono, koordinator pembuatan replika.
Replika itu dibuat menggunakan bambu yang kemudian dibungkus kertas semen dan dibentuk menyerupai gunung. Biayanya? Menurut Nono sebesar Rp 7 juta yang ditanggung oleh seluruh warga di lingkungannya.
Ada pula replika naga berkepala enam yang dibuat oleh warga Blok Astana, Kecamatan Gunung Jati. Tak tanggung-tanggung biaya yang dikeluarkan untuk membuat naga dengan tinggi lebih dari enam meter dan panjang 10 meter, lengkap dengan hidrolik untuk menggerakkan kepala dan mata naga sebesar Rp 40 juta. "Semua ditanggung oleh warga kami," kata Kusnadi, koordinator pembuatannya.
Biasanya warga mulai menabung sejak sedekah bumi tahun lalu. "Seluruh warga mulai menabung sejak sedekah bumi tahun lalu berakhir," katanya. Alhasil, terkumpul uang yang cukup banyak untuk membuat naga hidrolik itu.
Besarnya biaya untuk membuat berbagai macam replika memang bukan menjadi masalah bagi warga. "Ini karena kepercayaan warga," kata Sutarmin. Warga percaya, jika ingin mendapatkan panen, baik padi maupun ikan, yang banyak, maka jangan pelit untuk bersyukur. Karena kepercayaan inilah, warga pun sukarela mengeluarkan uangnya.
Arak-arakan ini diikuti oleh 220 peserta dari berbagai wilayah di Cirebon. Replika ini dibawa baik dengan cara didorong oleh tenaga manusia, maupun dengan menggunakan mobil. Saking panjangnya, walaupun replika pertama sudah ada di daerah Krucuk, tempat perputaran arak-arakan, buntutnya masih ada di Gunung Jati.
Masyarakat pun sangat antusias dengan berbagai macam replika yang diarak. "Kami sekeluarga sengaja datang dari Brebes untuk melihat arak-arakan ini," kata Yudi, warga Brebes. Mereka sekeluarga datang sejak pagi, sholat Jumat di masjid Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan, kemudian menunggu di ruas Jalan Gunung Jati. "Ini untuk ngalap berkah," kata Yudi.
IVANSYAH