TEMPO Interaktif, Jakarta -Sepatu bisa mengatkan orang pada kemarahan wartawan Irak, Muntazar Al Zaidi, terhadap bekas Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, ketika ia melepas sepatu dari kakinya dan kemudian melemparkan dengan emosi yang meledak kearah sang presiden pada 14 Desember 2008. Dunia pun gempar. Tindakan Muntazar menjadi arsip sejarah. Bagi masyarakat Arab melemparkan sepatu adalah simbol penghinaan terhadap seseorang, tapi sepatu itu sekaligus simbol orang atau kelompok masyarakat yang menjadi korban keberingasan satu entitas politik.
Sepatu juga yang digunakan perupa Agung Kurniawan untuk mengingatkan orang pada keberingasan yang terjadi pada 1998, ketika massa menjadi penguasa riil di jalanan Kota Jakarta. Tidak ada polisi, tidak ada tentara, dan rezim di Istana Merdeka menuju ke kebangkrutan politik. Hanya ada kerumunan manusia yang menjarah dan membakar apapun yang mereka inginkan. Kemudian yang tersisa hanyalah puing, bau anyir tubuh-tubuh yang hangus, dan sepatu.
Agung Kurniawan menggunakan idiom sepatu pada karya bertajuk The Balck Shoes Diary (2007) ketika menerjemahkan kurasi Sanne Oorthuizen The Mental Archive pada pameran bersama delapan perupa lain di Rumah Seni Cemeti 18 Desember-8 Januari 2010. “Sembilan seniman yang diwakili karyanya dalam pameran ini menjabarkan ide mereka tentang ingatan dan waktu,” tulis Oorthuizen dalam konsep kuratorialnya. Oorthuizen adalah kurator independen asal Belanda yang sedang mengikuti program magang kuratorial di Rumah Seni Cemeti.
Agung menggambarkan epidose kelam 12 tahun lalu itu secara dingin dengan teknik drawing di atas kertas yang dibentuk seperti kotak sepatu dan dipajang bersama sepasang sepatu ket hitam bermerek import yang masih baru. Lewat karya drawing dan sepatu yang riil itu Agung berusaha mengembalikan ingatan kolektif terhadap peristiwa yang umumnya diperoleh lewat media. Berhasilkah? “Ingatan satu peristiwa bisa agak berbeda dari peristiwa aktual yang terjadi di masa yang berbeda,” kata Oorthuizen.
Coba lihat karya J Ariadhitya Pramuhendra. Ia mengangkat sejarah pribadinya yang tergambar lewat potret keluarga. Hanya dia dan keluarganya yang tahu detil narasi dibalik foto itu. Namun, potret keluarga itu menjadi lebih kuat maknanya bagi orang lain ketika Ariadhitya mengolahnya menjadi karya drawing dengan charcoal. Dia menghilangkan detil potret figur sehingga yang tersisa citraan yang kabur, seperti upaya dia menghapus ingatan masa lalu yang mungkin mengaduk-aduk emosi.
Fotografer Agan Harahap malah menambahkan realitas visual baru ke dalam realitas visual lawas lewat seri karya bertajuk “Superhero”. Suasana Perang Dunia II dan ketegangan politik pada masa Perang Dingin lewat karya foto lawas yang sudah menjadi lembaran arsip sejarah diberi makna baru dengan menambahkan citraan sosok hero dalam industri hiburan pop (Batman, Superman, Spiderman). Ingatan yang sangat berjarak ini menimbulkan kesan: perang adalah parodi sejarah.
Rentang waktu yang panjang dan pengalaman individual membuat artefak sejarah tak selalu punya daya ungkap yang kuat ketika dihadirkan kembali pada masa yang berbeda, tanpa diimbuhi kedekatan pengalaman individual dengan artefak itu. Jompet Kuswidananto misalnya, menggunakan elemen suara dan konstruksi bangunan atap rumah tradisional Jawa yang hanya terasa sebagai ungkapan pernik elemen tradisi.
Adapun karya Hafiz dan Iswanto Hartono lebih mampu mengembalikan ingatan pada sosok pelukis sekaligus aktivis seni Indonesia S Soedjojono dan Oesman Effendi lewat rekaman suara mereka. Keduanya diketahui berada pada posisi berseberangan dalam melihat keberadaan seni lukis Indonesia. Bagi penonton yang akrab dengan seni rupa Indonesia kedekatan dengan Soedjojono khususnya sudah mereka alami lewat teks tertulis berupa kutipan tak langsung maupun kutipan langsung ucapannya dalam sejarah seni rupa Indonesia. Rekaman suara itu dengan mudah mengembalikan ingatan terhadap sosok Soedjojono dan Oesman Effendi.
Karya ini menjadi menarik dengan visualisasi grafik yang menggambarkan naik turunnya tekanan suara, sehingga orang bisa merasakan dan melihat visualisasi emosi Soedjojono yang meledak-ledak ketika membela keberadaan seni lukis Indonesia. Tapi karya Iswanto Hartono berupa teks dari bahan kawat besi dalam Bahasa Belanda mungkin hanya nyantol pada pengalaman individual orang Belanda. Karya Octora berupa rahasia pribadi pengunjung pameran yang ditulis di atas kertas tanpa identitas akan lebih bermakna pada orang yang membuat teksnya dan orang yang punya pengalaman emosi yang sama. Sedangkan kisah cinta dalam karya Syagini Ratna Wulan yang menarik secara visual, tapi hanya akan menjadi ingatan individualnya.
RAIHUL FADJRI