Bangku-bangku di Gedung Kesenian Jakarta tampak lengang. Padahal, pementasan seniman asal Yogyakarta, Djaduk Ferianto bersama bandnya, Kua Etnika, biasanya tak pernah sepi. Bukan tak lagi diminati, namun kali ini nampaknya Djaduk harus bersaing ketat dengan pertandingan semifinal piala AFF (Federasi Sepak Bola Asia Tenggara) yang mempertemukan Indonesia dengan kesebelasan Filipina, Kamis pekan lalu.
“Terima kasih sudah mau datang nonton. Tapi heran, kok mau-maunya nonton,” kelakar Djaduk di atas panggung. Berbaju koko dan celana gombron, Djaduk berada di tengah panggung, di kelilingi instrumennya. Malam itu, Djaduk bersama Kua Etnika menyuguhkan pertunjukan musik bertajuk Merapi Horeg, sekaligus memperdengarkan album terbarunya, Nusa Swara. Sebelumnya, konser serupa pernah digelar di Teater Salihara, Agustus lalu.
Tresnaning Tiyang menjadi nomor pertama yang dikumandangkan sebagai pembuka konser. Lagu yang sarat dengan bunyi-bunyian gamelan itu merupakan terjemahan dari sebuah pemandangan alam yang diabadikan Djaduk dalam layar ponselnya. Inspirasi pun kian membuatnya tergila-gila di atas komposisi melodi.
Lagu selanjutnya, Bromo, terdengar berdiri sendiri sebagai sebuah terjemahan Djaduk terhadap gunung yang membuatnya terpesona. Lagi ini diawali dengan alunan seruling yang disambut oleh ketukan nada pentatonis gamelan berpadu dengan gebukan kendang sunda, kibor, drum, bass, dan gitar.
Panggung terasa kian megah begitu lagu Merapi Horeg dimainkan. Lewat petikan kecapi dan gemericik air penonton diajak berimajinasi. Suara gemericik air berasal dari Rain Stic, alat buatan tangan berbahan bambu dengan balutan paku-paku yang diisi jagung dan keledai kering. Saat digerakan naik turun, bunyi bijian yang tersentuh ujung paku akan memunculkan suara air.
Merapi Horeg merupakan hasil dari sebuah perenungannya pada Februari, setahun lalu.
Djaduk berkisah, ketika tengah menyiapkan Jazz Gunung, dia menyepi di puncak Gunung Bromo, ditemani embun dan udara Subuh yang dingin. Di sana dia menyaksikan pemandangan yang membuatnya serasa berada di nirwana. Puncak gunung tampak berawan dan terang benderang, kontras dengan pemandangan di bawah sana yang gelap gulita.
Pemandangan menakjubkan itu memaksanya merenung, diilhami sebait syair karya W.S Rendra, merenung seperti gunung, bergerak seperti ombak. Dalam alam perenungan itulah, kreatifitas Djaduk bergerak hingga mengantarkannya pada sebuah pemikiran baru. “Ada 4B yang menjadi keajaiban dunia, Bali, Bromo, Borobudur, dan Bantul,” ujarnya, diimbuhi gurauan Sang vokalis, Trie Utami, “Satu lagi, Bintaro.”
Merapi Horeg ini bukan termasuk dalam delapan deret nomor terbaru dalam album Kua Etnika. Namun, Djaduk memutuskan untuk kembali memainkannya dengan alasan “gunung-gunungan”nya itu. Menurut Djaduk, Horeg bermakna goyang. Usai merapi “bergoyang” lewat letusan dahsyatnya, warga Merapi di Yogyakarta pun kembali “digoyang” oleh kisruh monarki yang diembuskan pemerintah pusat. “Nomor ini untuk orang-orang pusat biar nggak budeg,” ujar Djaduk.
Galibnya sebuah pertunjukan musik, ada satu lagu yang mereka pamerkan pada pementasan yang menjadi bagian dari rangkaian Festival Musik Indonesia itu. Berjudul Matahari, porsi nge-lead para personel dimulai dari kibordis Agus Wahyudi, disusul basis Danny Eriawan Wibowo dan Djaduk yang memainkan alat bernada pentatonis. Konsep teatrikal yang menjadi bumbu khas pertunjukan ini, membuat konser begitu hidup.
Djaduk meracik tiap nomor dengan filosofi beragam. Keluar dari urusan gunung, usai komposisi bertajuk Cilik, lagu Kennanemi justru lebih mengajak pendengar untuk terus menanam. “Tak cuma tumbuhan, tapi menanam apa saja. Termasuk menanam harapan, cita-cita, atau apapun demi kebaikan negeri ini,” jelasnya. Kennanemi minim suara gamelan. Badan lagunya, didominasi oleh permainan kibor, drum, dan gitar mini bernama Strum Stick. Alat musik yang dibeli dari Osaka, Jepang itu terdiri dari tiga senar gabungan pentatonik dan diatonik. Sekilas, bunyi petikannya mirip sasando.
Lakon teatrikal kembali diasah Djaduk dalam Sintren. Ia menyeruakkan aroma magis dengan menghadirkan tudung besar yang berselimut kain putih yang berhias rangkaian melati. “Sekarang kita main sulap-sulapan,” kelakarnya. Seolah membuat karya ini kian sakral, Trie pun digiring masuk tudung. Sebagai seorang “sintren”, ia bersenandung di dalamnya. Vokal Trie berubah-ubah, dari gaya sintren jalanan, pop, hingga ngejazz. Usai itu, lagu bertajuk Kembang Boreh pun mengalun.
Satu nomor pamungkas album yang bersampul kuning itu ada pada posisi ketujuh, berjudul Reog. Tak sekedar bermusik, dalam penampilan nomor ini, Djaduk memboyong dua penari Reog. “Ini ada dua dewan DPR, Dewan Penari Reog,” kelakarnya. Keduanya pun tampil dan menari enerjik bersama Trie. Meski tipis, Djaduk mencoba meneteskan aroma Afrika dengan alat musik Shaker Port ke dalam musik Jawa Timuran itu.
Proses rekaman album ini memakan waktu hingga satu tahun. Waktu enam hari dihabiskan untuk rekaman langsung. “Jadi, kalau salah, ya ngulang dari awal,” katanya. Sebelum album Nusa Swara, grup musik yang didirikan tahun 1995 ini telah merilis beberapa album. Di antaranya, Nang Ning Nong “Orkes Sumpeg”, Ritus Swara, Many Skins One Rhythm, Peta Java, unen-unen, World Music : raised From The Roots, dan Breaking Throught Borders.
Aguslia Hidayah