TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Enam pemusik berkolaborasi di panggung Padepokan Seni Bagong Kussudiarja Kelurahan Tamantirto Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Senin (27/12) malam. Hasilnya, enam reportoar musik etnis hadir tanpa judul dengan mempesona.
Mereka adalah Anon Suneko (gamelan klasik), Sri Wibowo (spesialis rebab), Eni Lestari (pesinden yang mahir memainkan gamelan), Felix Setiawan (penabuh gambang) dan Irfaq Bustanul Arifendi (penabuh kendang). Kolaborasi seniman musik asal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu kian meriah dengan masuknya suara Shakuhaci –seruling asal Jepang- yang dimainkan Misbach Daeng Bilok asal ISI Surakarta. “Ini karya bareng,” kata Felix Setiawan menjelaskan konsep musik yang mereka mainkan malam itu, “Semua adalah komposer sekaligus pemain.”
Reportoar awal hadir dalam nada gamelan yang dinamis. Tabuhan gambang dan bonang bersambutan dalam irama cepat dan pelan. Di sela dan akhir permainan nada itu, dentum gong menambah pas suara terdengar di telinga. Apalagi iringan shakuhaci -dengan suaranya yang khas mirip gemericik air- memperkental roh etnik dalam penampilan musik yang ditampilkan.
Dimulai pukul 20.20 WIB malam, hampir 20 menit lamanya repertoar awal dalam pementasan itu hadir. Sesekali tembang bersuara nyaring dilantunkan Eni Lestari di sela permainan musin itu.
Pementasan cukup apik tersaji. Didukung tata lampu dan sound sistem memadai, setting panggungnya dipenuhi perangkat musik. Gamelan, bonang, dan gambang di sayap kanan dan tengah panggung. Adapun gong, kendang dan seruling di sayap kiri panggung.
Berbeda dengan penampilan pertama, dimana pemusik memainkan alat musik berbeda yang menjadi keahlian mereka masing-masing. Maka dalam reportoar kedua, semua pemusik serempak memainkan kendang. Dari yang berukuran kecil, sedang hingga besar.
Tembangan nyaring Eni mengawali pementasan kedua itu. Disambut rancak suara kendang yang ditabuh bersama. Suaranya terdengar keras mendayu-dayu. Ritmenya cepat dan segera berakhir sebelum kemudian melambat, suara dan ritmenya. 13 menit lamanya repertoar kedua itu dimainkan.
Menurut Sri Wibowo, permainan musik mereka tercipta karena dilandasi rasa senang hinghga mereka cukup menikmati pola permainan musiknya. Tak ada judul, catatan atau aturan baku yang dianut. Semua mengalir begitu saja dalam bermusik.
Pada awalnya, mereka memang menyiapkan satu reportoar musik etnik saja. Durasinya panjang berjam-jam. Untuk memudahkan pementasan, nada-nadanya kemudian di pisah-pisahkan menjadi beberapa bagian. “Kalaupun terpecah menjadi lima hingga enam reportoar,” kata dia, “Itu hanya sebagai pengingat saja.”
Ada satu prinsip permainan yang mereka terapkan dalam pementasan. Masing-masing mencoba saling melengkapi kekurangan satu pemain dengan kelebihan pemain lain. Hasilnya, kolaborasi mereka tampil sempurna. “Saling rela menerima dan memberi, itu saja,” kata Anon Suneko.
Pola bermain musik seperti itu, lanjut dia, membuat tiap pemain enjoy bermusik. Bahkan, saking asyiknya, “Sampai judul pun tak terpikirkan,” kata dia.
Spontanitas dan kekompakan memang kental terasa dari permainan mereka. Di sela pementasan, masing-masing didapuk unjuk kebolehan dalam memainkan satu alat musik tertentu. Anon dengan gamelan, Wibowo dengan rebab, Felik dengan gambang hingga Misbach dengan Shakuhacinya.
Persis di tengah Irfaq memainkan musik tiupnya, suara Eny sontak mengiringi dengan alunan tembang. Dan, satu per satu, pemusik lain mulai serentak mengikutinya dengan cara permainan musik masing-masing.
Satu setengah jam, lima repertoar lumat dipentaskan. Di akhir pementasan, mereka mendemostrasikan permainan gamelan. Enam pemusik memainkan bonang bersama. Alat musik menyerupai periuk nasi yang terbuat dari perunggu itu ditabuh dengan cara berbeda oleh masing-masing pemusik.
Alat pemukul berbeda, dengan palu dan tangan, serta letak bonang yang ditabuh menghasilan suara berbeda. Namun, lagi-lagi mereka membuktikan, justru dari suara nada berbeda itulah sebuah repertoar musik etnik hadir mempesona.
ANANG ZAKARIA