TEMPO Interaktif, Bandung - Suara yang keluar dari kotak amplifier itu seperti berloncatan di seutas pita kaset. Awalnya terdengar seperti angin ribut. Tapi suara tak putus itu ingin juga didengar sebagai kucuran air yang deras atau gelombang kosong radio. Sebelumnya, pita kaset itu sempat dipakai untuk merekam permainan langsung 3 sausaphones, alat musik tiup besar yang pipanya melingkar di badan pemainnya. Setelah itu, suara alat musik pelengkap marching band tersebut lenyap karena pita kaset terus dipakai untuk merekam dan memutar hasilnya berulang-ulang dengan cara yang ganjil.
Di ruangan berukuran hampir 4 x 4 meter dengan tembok membentuk huruf U bersudut siku, dua alat pemutar kaset ditempel berhadapan. Salah satu alat itu, yang dilengkapi mikrofon di tembok sebelah kanan, berfungsi merekam suara apa pun yang melintas. Alat lainnya di sebelah kiri dipakai untuk memutar hasil rekaman. Kedua pemutar kaset itu bekerja serentak memutar pita kaset ukuran 90 menit, yang ditarik keluar dari cangkangnya. Inilah ganjilnya. Proses itu menjadi panjang karena pita kaset harus berjalan menyusuri tembok dengan jarak sekitar 36 meter.
Konsep putaran (loop) pada instalasi berjudul Loop Study No. 1: Uber-Feedback itu juga dipakai untuk Loop Study No. 2: Christine & Joyce. Pada karya ini, seniman muda Duto Hardono menggotong dua proyektor bekas yang dibelinya untuk memutar film yang dibintangi Christine Hakim dan Joyce Erna. Agak berbeda dengan perlakuan pita kaset, pita seluloid ukuran 16 milimeter itu dikeluarkan dari dua rolnya di setiap proyektor, lalu ditarik ke langit-langit dan berjalan menyusuri dinding. Namun gambar film yang ditembakkan sejauh 5 meter ke dinding seberangnya itu buram dan terhalang oleh bayangan hitam kaca pembesar di depan proyektor. Walau begitu, pemutaran film tak berhenti.
Dua instalasi kinetik karya seniman Bandung berusia 25 tahun itu disuguhkan dalam pameran “Selasar Solo Project Series: Good Love, Bad Joke | Profanity Prayer” di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, sepanjang 18 Desember 2010 hingga 15 Januari 2011 mendatang. Dua instalasi itu berkisah tentang sebuah siklus. “Tepatnya siklus kebudayaan,” kata kurator Agung Hujatnikajennong. Analoginya, tutur Agung, ketika sebuah budaya datang, awalnya masyarakat akan menyerap dan memakainya. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya itu lama perlahan-lahan akan terhapus, tertimpa kemunculan budaya baru. Perubahan tersebut ditandai oleh proses dan jeda waktu ketika perekaman pita dan pemutaran suaranya berjalan.
Selain itu, Duto mengisi penuh Galeri B Selasar Sunaryo Art Space dengan tampilan karya seri folk art berupa kerajinan tangan kolase dari bahan kertas. Menurut Agung, Duto, yang lulusan magister Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung 2010, tak bermaksud menyampaikan narasi apa pun, dan beberapa judulnya ada yang jauh maksud dari isinya. Ini seperti tajuk pameran yang dipilih Duto, Good Love, Bad Joke, dua frase yang hubungannya tak jelas hasil pelesetan dari Good Laugh, Bad Joke. Ungkapan itu untuk menggambarkan situasi humor yang tidak lucu tapi membuat orang tergelak.
Bersamaan dengan Duto, seniman muda Bandung lainnya, Banung Grahita, juga menggelar seri karyanya yang bertajuk Profanity Prayer di Galeri Sayap Selasar. Narasi lewat video animasi, buku gambar, dan cetakan gambar di kanvas itu menyodok soal ritual pemuja teknologi, khususnya kalangan pengguna Internet. Banung, 27 tahun, yang selama ini menggeluti video dan fotografi, menghadirkan sosok-sosok mutan. Tanpa teks, ceritanya mengalir bersama taburan bahasa simbol dan balutan mitologi lokal.
Pemenang Indonesian Art Award pada 2008 itu membuat tokoh-tokoh ceritanya berdasarkan kepercayaan masyarakat tentang adanya dunia “bawah” (rakyat jelata) dan “atas” (dewa-dewa). Kalangan dunia “bawah” ditampilkan sebagai manusia hewan. Kepalanya bertanduk, seperti kambing dan rusa, begitu pula sepasang kakinya. Ada pun kemaluannya hanya ditutupi selembar uang Rp 1.000. “Ini sebagai metafora dari masyarakat yang menjadi penonton dalam budaya media yang diiming-imingi oleh kondisi ideal hasil konstruksi media massa,” ujar Banung, yang juga lulusan magister Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Adapun kalangan para dewa hadir dalam bentuk burung origami bermotif kertas uang dolar Amerika Serikat dan duit Rp 100 ribu serta Dewa Pengetahuan dan Kebijaksanaan berupa manusia berkepala keledai dengan lidah menjulur, bermata tiga, dan bertangan empat sambil memegang dua telepon seluler. Jantungnya berdetak tepat di daerah kemaluannya. Sosok tokoh dan gambar latar dunia fantasi itu sengaja dicomot Banung dari Internet, lalu diolah kembali menjadi gambar animasi berwarna pastel.
Dua tahun belakangan ini Banung selalu bicara soal mitos di Internet, tentang gambar-gambar di ruang maya yang ikut membentuk persepsi orang tentang kenyataan. Sebagian orang bahkan menganggap tayangan media massa dan Internet merupakan realitas yang sesungguhnya. “Kita perlu susun gambar itu untuk dapat pemahaman yang utuh,” kata Banung.
Karya Banung bertajuk Pilgrimage itu bercerita tentang perjalanan meraih kondisi hidup ideal lewat Internet yang sebenarnya semu. Kisah dan tokoh dalam video berdurasi 2 menit 3 detik itu kemudian dipecah oleh Banung menjadi tiga karya video animasi yang bercerita sendiri. Di sana tampil sosok dewa pengetahuan; dewa kemakmuran, yang berenang di kolam berair uang; dan “Tuhan” di kahyangan.
Dampak realitas Internet itu dituturkan lewat karya berupa rangkaian gambar dalam buku berjudul The Beginning of Civilization. Di sana, empat petani dan warga desa yang awalnya berjalan rapat bersama, akhirnya harus terpencar sambil asyik tenggelam bersama iPad di tangannya masing-masing. Karya itu ingin menyampaikan sebuah pesan: teknologi komunikasi kini berhasil mendekatkan yang jauh, sekaligus menjauhkan yang dekat.
ANWAR SISWADI