Tiga tubuh perempuan itu tak saja kosong. Banyak ekspresi tersirat. Saling mendukung dan erat berpadu dengan yang lainnya. Adakalanya satu tubuh itu terpuruk, terjatuh. Lalu kedua lainnya menyeret tubuh ini. Perlahan dan pasti tubuh yang terjatuh tadi didudukkan lalu dibangungkan. Pada akhirnya, mutualisme simbiosa adalah sebuah pilihan. Melalui karya berjudul Simbiosa, koreografer Siko Setyanto menyajikan persinggungan tubuh-tubuh yang utuh.
Pengalaman Siko mendukung beberapa koreografer Indonesia tampaknya mempengaruhi karyanya. Ia turut mendukung karya Farida Oetoyo, Chendra Panatan, Hartati maupun Chendra Panatan. Semua koreografer ini berbasis pada tari kontemporer. Maka lihatlah Simbiosa. Meskipun dasar tari modern seperti balet masih terlihat sesekali dalam gerak, karya tersebut sangat kontemporer.
Simbiosa menjadi salah satu karya yang ditampilkan dalam Forum Koreografi Jakarta. Di gelar dua hari berturut-turut, 21-22 Desember lalu di Gedung Kesenian Jakarta, forum yang digagas Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta sejak dua tahun lalu itu memberikan ruang bagi para koreografer yang mempelajari koreografi secara otodidak. Sebuah wadah bagi koreografer-koreogafer berbakat menunjukkan karyanya. "Pengalaman berkarya dan kemampuan kreatif kesenimanan mereka menjadi ekpresi individual mereka," ujar ketua komite tari DKJ, Deddy Luthan.
Tahun ini, Forum Koreografi Indonesia mengundang enam koreografer muda berbakat untuk mementaskan karya terbaik mereka. Enam nama yang tampil dalam forum ini merupakan koreografer baru, yakni mereka yang dianggap memiliki potensi dan keinginan yang kuat untuk memasuki dunia koreografi profesional. Sisanya adalah para koreografer memiliki potensi dan karakter yang kuat, tetapi jarang mendapat kesempatan berkarya dan menunjukkannya kepada publik.
Tak hanya perbedaan jam terbang, enam koreografer yang tampil dalam Forum Koreografi Indonsia kali ini berasal dari dua latar belakang kesenian berbeda. Siko Setyanto, Anindya Febrina dan Rina Yunus mewakili koreografer yang berbasis modern kontemporer. Sedangkan koreografer tari tradisional diwakili oleh Sitty Suryani, Aris Setiawan dan Besar Widodo.
Para penikmat tari, mendapat kesempatan menyaksikan karya tiga koreografer tari modern kontemporer di malam pertama pertunjukan. Bila Siko tampil dengan Simbiosa, Anindya menampilkan karya berjudul Bianglala dengan tampilan tari balet. Ia, dengan sangat gamblang bercerita dalam tarian itu.
Dituturkan dalam gerak dan ekpresi penari, Bianglala berkisah tentang dua manusia yang saling jatuh cinta. Sang lelaki merayu si perempuan yang menjadi impiannya. Pucuk dicinta ulam tiba, perempuan cantik ini menyambut. Tapi kemudian pengkhianatan terjadi. Ada perempuan lain hadir di antara mereka. Ketika sang lelaki ingin kembali pada pujaannya, kekasihnya yang sempat terpuruk dalam kesedihan, telah pergi. Dan bangku taman menjadi saksi bisu bianglala kehidupan.
Gerakan tari balet juga menjadi pijakan Rina Yunus dalam menggarap karyanya, Bola. Rina memanfaatkan bola plastik sebagai objek bagi beberapa penari yang sedang membawakan perannya. Kadang bola menjadi alat bermain hingga benda bulat ini dijadikan layaknya seorang kekasih yang diperlakukan dengan lembut. Sayangnya, Rina kurang mengeksplorasi bola dalam tariannya. Kehadirannya kurang menyatu dengan garapan tari keseluruhan. Bola itu berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Menjadi berbeda fungsi tatkala terpegang oleh pemeran yang berbeda. Namun, bola itu tak juga menjadi hidup.
Di hari kedua, giliran koreografer berlatar belakang tradisi Indonesia unjuk kebolehan. Koreografer Sitti Suryani mengawali pentas Rabu malam itu dengan karyanya berjudul Tikar Terbentang Dendang Menghilang. Mengusung budaya Melayu, Sitti menggunakan tikar pandan sebagai bagian dari koreografinya. Tikar itu kadang disampirkan di punggung penari, dibentangkan di lantai hingga dipakai menutupi seluruh tubuh penari yang bergelung di lantai. “Saya hanya menyampaikan betapa banyak fungsi tikar, sebagai alas tidur hingga dipakai untuk membungkus jenazah,” jelas Sitti.
Koreografer Aris Setiawan lebih mengandalkan gerakan tubuh penari. Karyanya yang berjudul Ruwat diawali dengan kehadiran seorang penari perempuan yang duduk bersimpuh dengan tangan menyilang di dada. Di bawah sorotan lampu panggung dan suara ketukan logam, perlahan tangan dan kakinya bergerak, menggeliat. Lalu datanglah dua lelaki berelanjang dada. Mereka terlibat pertikaian hingga salah seorang di antaranya terkapar. “Idenya dari situasi saat ini dimana kekerasan kerap terjadi di sekitar kita,” jelas Aris. Ruwat ini menggambarkan bagaimana nafsu menguasai dunia. Konflik antara manusia yang terus terjadi. Hal itu tergambar lewat adegan duel sepasang laki-laki yang mendominasi garapannya.
Pentas malam itu ditutup oleh karya Besar Widodo berjudul Tradisi yang Menari. Disajikan oleh tiga penari perempuan berkebaya merah dengan kain batik panjang yang terjulur di lantai. Berbeda dengan Aris dan Sitti yang memadukan gerakan tari tradisi dengan musik tradisional, Besar memadukannya dengan musik modern. Tak ada gamelan, suling atau gendang. Namun demikian, musik pengiringnya yang diproduksi secara digital itu tak meluruhkan atmosfer tradisional Jawa secara keseluruhan. Dengan latar musik itu, para penari justru terlihat lebih leluasa untuk mengembangkan eksplorasi gerak dan ruang. Sebuah sajian penutup yang manis.
Nunuy Nurhayati, Ismi Wahid