Para penampil di atas panggung itu berasal dari kelompok berbeda. Barisan perawit di sayap kanan panggung, dengan lelaki berbeskap hitam, berasal dari ISI Surakarta. Di sisi kanannya, duduk barisan perawit ISI Yogyakarta. Adapun di sayap kiri, dengan lelaki berbeskap putih, para perawit dari Kelompok Karawitan Cahyo Laras, Klaten.
Pada pukul 20.20 WIB, Gending Iman karya Ki Martopangrawit melantun nyaring di ruang pertunjukan berkapasitas 600 kursi penonton itu. Tembangnya terdengar syahdu. Nada-nada slendro dan pelog khas karawitan berpadu dalam rancak suara gamelan.
Gending Iman menjadi tembang pembuka pertunjukan kolaborasi tiga kelompok perawit dalam Jogjakarta Karawitan Festival 2010. Sekitar lima menit berlalu, tembang yang digubah pada 1979 itu melantun dari atas panggung dalam iringan tiga set perangkat gamelan dengan kualitas yang sama.
Setelah itu, mengalunlah tembang kedua: Gending Wandhali. Komposisi karya Ki Nartosabdo itu seakan menyapa para penonton betapa karawitan tak hanya milik orang-orang Jawa. Wandhali merupakan singkatan dari Jawa, Sunda, dan Bali. Lantunan tembang dan suara gamelan pengiringnya lebih karya warna. Dari Jawa yang kalem dan tenang hingga Bali yang mendayu-dayu.
Dalam penampilan berikutnya, masing-masing kelompok tampil sendiri. Kelompok Cahyo Laras menyuguhkan Suka Syukur karya Ki Nartosabdo, disusul Janji Allah oleh ISI Surakarta, dan diakhiri dengan Basanta karya Ki Tjokro Wasito oleh ISI Yogyakarta. Tiga kelompok perawit menampilkan karya tiga empu karawitan susul-menyusul tanpa jeda. Hasilnya, sebuah rangkaian pertunjukan yang sungguh indah.
Ketua Panitia Festival Siswadi mengatakan festival ini merupakan festival karawitan yang pertama kali digelar ISI Yogyakarta. Awalnya, festival hanya bertujuan memperingati 1.000 hari wafatnya Ki Tjokro Wasito, maestro karawitan asal Yogyakarta. Namun panitia kemudian menggagas sebuah penghormatan dengan menampilkan karya-karya maestro lain: Ki Martopangrawit dan Ki Nartosabdo. "Karya-karya mereka sungguh luar biasa," kata Siswadi. "Bahkan di luar negeri bisa disejajarkan dengan Mozart dan Beethoven."
Menurut Siswadi, semasa hidupnya Ki Tjokro Wasito adalah seorang abdi dalem Keraton Pakualaman Yogyakarta. Meninggal di usia 105 tahun pada 2007, karyanya sarat akan kritik sosial di tengah masyarakat. Lalu Ki Martopangrawit adalah abdi dalem Keraton Surakarta. Karyanya lebih banyak bercerita tentang pendidikan. Adapun Ki Nartosabdo bukan abdi dalem. "Dia abdi masyarakat," ujarnya. "Selain menjadi dalang wayang, dia banyak mencipta gending bertema keindahan alam."
Pengamat seni karawitan Suka Hardjana menilai ketiga tokoh karawitan itu memiliki cara berbeda dalam menyikapi kondisi sosial di sekitar mereka. Karya-karya mereka semua pada dasarnya sarat akan kritik sosial. "Sesuai dengan zamannya, mereka urun rembuk untuk masyarakat," kata Suka.
Mereka, tutur Suka, hidup di era 1960-an dengan kondisi politik yang tak stabil. Kritik yang mereka ungkapkan dalam gending bisa saja menjadi bumerang dan mendatangkan bencana. "Ketiganya melakukan kritik sosial. Semua memiliki kepekaan tentang itu," ujarnya.
Pementasan karya ketiga maestro itu dianggap penting untuk menghidupkan kembali ikon sejarah. Karya mereka menjadi tonggak reformasi budaya. "Artinya pembaharuan," Suka menjelaskan.
Sepanjang dua jam, tiga kelompok perawit itu kembali menghidupkan karya ketiga maestro perawit Jawa. Mereka menyuguhkan karawitan sebagai sebuah karya utuh. Sementara biasanya karawitan dipentaskan sebagai pengiring pertunjukan wayang, kini karawitan tegak berdiri sendiri.
Pertunjukan malam itu ditutup dengan gending bertajuk Gotong Royong karya Ki Tjokro Wasito. Seperti namanya, tembang yang berkisah tentang kerja sosial itu menjadi pesan kolaborasi tiga kelompok karawitan. Tembangnya melantun penuh semangat dengan iringan gamelan yang mendayu-dayu.
Pergelaran Eksperimental
Pertunjukan kolaborasi tiga kelompok karawitan yang berbeda dalam Jogjakarta Karawitan Festival (Jogjakarfes) 2010 di Concert Hall ISI Yogyakarta memang sangat menarik. Kolaborasi ketiga kelompok itu menghasilkan perpaduan apik dengan ragam musik yang penuh warna. Penonton seakan dibawa menikmati karawitan secara utuh, bukan lagi menjadi tembang pengiring dalam pementasan wayang.
Satu per satu tembang karya Ki Tjokro Wasito, Ki Martopangrawit, dan Ki Nartosabdo dilantunkan kelompok perawit dari ISI Yogyakarta; ISI Surakarta; dan Cahyo Laras, Klaten. Selain ada yang bersama, ada yang bergantian sahut-menyahut. Susul-menyusul tanpa jeda. "Ini adalah pagelaran eksperimental," kata Wakil Ketua Festival Bambang Pudjasworo.
Gaya bersahutan yang digunakan dalam pementasan lazim disebut mebarung. Teknik itu diadopsi dari pementasan seni di Bali. Sejumlah kelompok kesenian duduk bersama di atas panggung (on stage) dan bersiap menampilkan pementasan mereka setelah pementasan kelompok lain.
Dalam pementasan di Jogjakarfest malam itu, panitia sengaja menyediakan tiga perangkat gamelan untuk masing-masing kelompok perawit. Layaknya sebuah kompetisi, gamelan dengan kapasitas sama dan kualitas seimbang disediakan agar karya yang dipentaskan sebanding satu sama lain.
Dua jam pementasan berlalu. Karya-karya ketiga maestro karawitan itu sempurna tertampilkan. Tembang yang dilantunkan berpadu dalam riuh rendah suara gamelan. Terdengar begitu kompak. "Ini menciptakan karawitan sebagai musik di negeri sendiri," kata Bambang.
ANANG ZAKARIA