Tubuh yang sedang tersulut kobaran api itu memang bukan manusia. "Mereka" adalah sembilan patung kayu berbentuk manusia karya Harsono. Aksi membakar tubuh-tubuh itu kemudian menjadi sebuah karya video performance yang bisa disaksikan pada pameran tunggal Harsono bertajuk "Re:Petisi/Posisi" di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 11 Desember 2010 hingga 11 Januari 2011.
Di ruang pamer, tubuh-tubuh gosong itu dipajang berjajar di atas rak besi, mirip meja di kamar mayat rumah sakit. Lalu, di lantai dekat kaki meja, Harsono meletakkan sepasang sepatu pada masing-masing "jenazah" korban kerusuhan Mei 1998.
Sebenarnya, pameran tunggal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan jejak-jejak penting proses berkesenian Harsono sejak 1975 hingga sekarang. "Karena keterbatasan ruang, banyak karya saya sudah berada di tangan kolektor dan sulit dipinjam, sehingga tidak bisa ditampilkan di pameran," kata alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (dulu Akademi Seni Rupa Indonesia), Yogyakarta, tahun 1974 ini.
Dan, dari belasan karya yang dipamerkan di Langgeng Art Foundation itu, sebagian besar bertema tentang korban. Konkretnya adalah masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa, baik yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998 maupun korban pergolakan politik pada 1965. Bentuk karyanya memang bervariasi, dari video performance, karya dua dimensi, instalasi, hingga video dokumenter.
Pada karya bertajuk Republik Indochaos, misalnya, Harsono menampilkan lima panel karya dua dimensi dengan teknik foto-etsa di kertas yang terinspirasi oleh kerusuhan Mei 1998. Karya grafis ini berbentuk prangko. Salah satunya gambar Soeharto dengan angka 100 dan 1998, kemudian ditambah tulisan "lengser" secara diagonal. Juga ada prangko bergambar beberapa tentara yang sedang membidikkan senapannya, ditambah tulisan "belajar menembak".
"Republik Indochaos memang menggambarkan runtuhnya pemerintahan Soeharto menyusul kerusuhan Mei 1998," Harsono menjelaskan. Ia sengaja mengambil bentuk prangko karena biasanya benda pos itu selalu diterbitkan sebagai penanda sesuatu atau peristiwa.
Harsono juga membuat sejumlah karya tentang korban pergolakan politik pada 1965, khususnya dari kalangan etnis Tionghoa. Maka muncullah karya instalasi bertajuk Monumen Bong Belung, berupa foto monumen makam etnis Tionghoa di Desa Karangsari, Blitar, Jawa Timur, berikut nama-nama korban yang dimakamkan di lokasi itu. Ada 196 nama Tionghoa yang dituliskan di kain yang dijajar di sekeliling foto monumen makam Bong Belung.
Makam Bong Belung tampaknya menjadi sesuatu yang sangat penting bagi Harsono. Buktinya, ada tiga karya tentang makam di tanah kelahirannya itu. Selain Monumen Bong Belung, ada karya instalasi bertajuk Dark Room, berupa meja kecil dari akrilik yang di dalamnya berisi foto-foto lawas tentang penggalian makam Bong Belung. Harsono juga membuat video dokumenter berdurasi 21 menit berjudul nDudah, berisi komentar para saksi mata peristiwa pembantaian etnis Tionghoa serta proses pembongkaran pemakaman massal yang dikenal dengan Bong Belung tersebut.
Sebagai warga negara Indonesia beretnis Tionghoa, Harsono juga merasa menjadi korban. Maka lahirlah karya instalasi bertajuk Rewriting the Erased atau Yang Dihapus Kutulis Ulang. Harsono menampilkan meja marmer kuno berikut kursi serta alat tulis. Lalu, ratusan kertas bertuliskan nama-nama dalam huruf Cina dijajar rapi di atas lantai.
Melalui karya ini, Harsono hendak menggambarkan bahwa orang-orang Tionghoa sebelum 1965 selalu punya nama Cina yang diberikan oleh nenek moyangnya. Setelah 1965, ada keharusan mengganti nama Cina menjadi nama Indonesia. "Saya ingin mengenang kembali bahwa saya pernah punya nama Tionghoa. Orang Tionghoa di Indonesia telah tercerabut dari akar budayanya," ujarnya. "Ada kesan, orang Tionghoa yang menggunakan nama Cina dianggap tidak nasionalistis. Padahal banyak tokoh kita yang masih mempertahankan nama Cinanya, terbukti sangat nasionalistis."
Selain itu, ada karya yang tidak berbicara tentang korban, misalnya karya bertajuk Suara yang Tak Bersuara/Tanda, menyoroti demokrasi pada zaman Orde Baru yang dinilainya sebagai lips service belaka. Menurut kurator Hendro Wiyanto, pluralitas karya Harsono ini lebih merupakan upaya untuk menciptakan opini tandingan dan keberpihakan kepada masyarakat marginal yang suaranya terbungkam, khususnya selama kekuasaan rezim Orde Baru. Pada saat yang sama, gagasan dan posisinya sebagai seniman juga merepresentasikan kritik terhadap kekuasaan. Lalu, pascareformasi, pandangan Harsono sedikit berubah.
"Ia melihat kekuasaan adalah sesuatu yang tidak hanya terpusat pada sebuah rezim, tapi juga tersebar dan beroperasi ke berbagai institusi kelembagaan sosial itu sendiri," tulis Hendro dalam katalog pameran.
HERU C NUGROHO