Diorama boneka itu dipasang tepat di pintu masuk utama galeri Tembi Contemporary, Jalan Parangtritis, Sewon, Bantul, Yogyakarta, dalam pembukaan pameran seni visual karya Iwan Effendi, Selasa malam kemarin.
Dalam tiap karya yang ditampilkan, Iwan – mantan mahasiswa Institut Seni Indonesia,Yogyakarta, itu – menggabungkan seni lukis dan patung. Hasilnya, sebuah visualisasi tiga dimensi tersaji harmonis. “Jika dalam karya dua dimensi (lukisan), hanya dipelototi orang maksimal 30 detik, maka tiga dimensi bisa lebih,” kata Iwan.
Pada pameran tunggalnya yang kedua itu – pameran tunggal pertamanya digelar di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2009 – Iwan memboyong konsep teater boneka berjudul Mwathirika yang sebelumnya dipentaskan di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta, awal Desember lalu. Dalam pementasan bersama Maria Tri Sulistyani, seorang penulis buku anak yang menjadi istrinya, Iwan bertugas sebagai Direktur Artistik.
Maka, bagi mereka yang pernah menikmati pementasan teater itu, melihat karya Iwan yang dipamerkan di galeri Tembi hingga 2 Januari 2011 itu seakan mengulang cerita. Karakter tokoh ataupun jalan ceritanya.
Bagi Iwan, menghadirkan cerita pementasan dalam ruangan bukan perkara mudah. Dia kembali menyusun ulang tiap adegan dan membingkainya dalam beberapa babak. Semisal diorama kepulangan terakhir Baba yang dipampang untuk menyambut pengunjung galeri. Ceritanya diambil dari Scene 2b dalam pementasan teater Mwathirika. “Saya merepresentasikan ulang cerita itu dalam ruangan,” ujarnya.
Namun justru disinilah, tantangan itu ada. Iwan dituntut untuk menghadirkan teater dalam ruang dan waktu yang berhenti tanpa meninggalkan roh cerita. “Konsep (pameran), saya buat barengan dengan pementasan teater, sejak Agustus lalu,” katanya.
Mwathirika adalah sebuah kata dari bahasa Swahili, yang berarti korban. Maka pameran Iwan kali ini, juga pentas teater boneka yang ditampilkan sebelumnya, adalah cerita tentang para korban.
Terdiri dari tiga tokoh utama, kakak-beradik Moyo dan Tupu serta ayah mereka, Baba. Mereka adalah korban sebuah peristiwa gonjang-ganjing politik di Indonesia tahun 1965. Di luar ketiga tokoh itu, ada juga tokoh lain. Yakni, Haki dan anak perempuannya, Lacuna.
Tapi, melalui karya-karyanya itu, Iwan tak hendak bercerita tentang rusuhnya jaman itu. Dia hanya hendak menampilkan sebuah kisah tentang sebuah keluarga yang anggota keluarganya tercerai berai akibat peristiwa itu.
Karakter tokoh tampil dalam sosok imajinatif dengan warna-warna cerah. Wajahnya tak menunjukkan karakter wajah etnis apapun. Dan seting lokasinya juga tak digambarkan di lokasi mana pun.
Ya, Iwan tak hendak menyinggung siapun dalam karyanya. Tapi justru karyanya itu adalah kumpulan keping-keping kisah hidupnya. “Saat itu, tahun 1965, kakek saya hanya dijemput oleh aparat desa,” ujarnya. “Tetapi sejak itulah kakek tidak pernah kembali lagi selama 13 tahun.”
ANANG ZAKARIA