Tetabuhan terus saja bergemuruh mengiringi arak-arakan itu. Bunyi bilah-bilah bambu yang dipukul, rebana besar, calung renteng, dan nyanyian yang disenandungkan terus bersahutan.
Hari itu Rumah Dunia, Serang, Banten, sedang menggelar perhelatan. Komunitas menulis yang dirintis oleh Gol A Gong ini menggelar acara “Ode Kampung #4: Banten Art Festival”. Satu di antara yang tampil dalam perhelatan itu adalah Teater Studio Indonesia.
Kamis dan Sabtu pekan lalu, Teater Studio Indonesia mementaskan drama dengan lakon Bebegig. Ya, bebegig atau memedi, seperti boneka-boneka yang biasanya dipasang di sawah untuk menakuti burung-burung pemakan padi, diboyong dalam sebuah panggung teater. Semuanya digarap di arena outdoor, pelataran Taman Budaya Rumah Dunia, Serang.
Instalasi bambu setinggi 5 meter menjadi pusat panggung. "Ini mengambil ide dari kayon, gunungan dalam wayang," ujar sutradara Nandang Aradea sambil menunjuk instalasi itu. Bambu disusun. Tiap-tiap penabuh menempati ruang kosong di dalam kayon. Di situlah tetabuhan dimainkan.
Dramaturgi dibangun oleh aktor yang merespons instalasi bambu itu. Mereka berlima butuh konsentrasi tinggi karena dialog diucapkan di puncak kayon. Mereka harus berhati-hati terhadap posisi itu. Maka aktor tak banyak memanfaatkan tubuh. Begitulah memang, Nandang selalu mencari konsep panggung di luar garapan-garapan konvensional.
Lakon ini bercerita tentang lima angin bebegig. Keterpilihan tokoh angin tak lain diadaptasi dari cerita pendek Aam Amalia berjudul Angin Jalan-jalan. Keempat angin-- Angin Puyuh (Sally Al-Faqir), Angin Penyakit (Dindin Saprudin), Angin Besar (Farid Ibnu Wahid), Angin Kecil (Taufik Pria Pamungkas)–urun rembuk ketika Angin Topan (Inaya Fadhilah) ingin ikut jalan-jalan.
Angin Topan diperbolehkan turut serta dengan syarat tak boleh bicara, apalagi tertawa, karena bisa membuat petaka. Mereka berlima menuju Bumi dan melihat kekacauan yang terjadi. Perjalanan dimulai dari desa ke kota, menguntit pejabat dan politikus. Dan kemudian ditemukan bencana gunung meletus, banjir, maupun tsunami.
Bebegig Angin Topan tak tahan ingin tertawa melihat politikus-politikus itu berpidato di tengah pengungsian. Antara kata dan perbuatan tak sesuai. Tawa Angin Topan menambah bencana lebih dahsyat lagi. Alegori alam yang tak pernah diam. Mengamuk saat melihat kelakuan politikus busuk.
Aktor-aktor itu tak melulu membangun cerita di puncak kayon. Kelima aktor yang memerankan bebegig angin itu turun dari instalasi bambu, pucuk gunung sebagai negeri dewata. Mereka membumi, membawa serta instalasi boneka raksasa. Sehingga kita melihat boneka memedi sawah itu berdialog satu sama lain.
Nandang juga menghadirkan kor yang dibawakan oleh 140-an pemain. Mereka mengelilingi panggung. Dendang lagu-lagu ini diadaptasi oleh pikukuh Baduy, yaitu teks-teks nasihat dari suku Baduy dari pedalaman Banten. Koreografi juga dihadirkan. Seperti gerakan silat Kampung Terumbu, Banten, mereka memainkan pecut dalam bagian atraksi itu.
Bebegig angin ini mengelilingi panggung. Yang menarik adalah ketika penanda suasana kacau-balau. Angklung buhun yang dihubungkan oleh tali ke instalasi bambu dientakkan berulang kali. Suara yang dihasilkan membuat suasana menjadi riuh. Atau pada akhir pertunjukan, tali panjang yang diletakkan tepat membelah kayon disulut api.
Mereka menyebut lakon ini sebagai teater partisipatif. Konsep teater rakyat yang mestinya interaktif dengan penonton. "Kerangka pemanggungan menjadi sangat longgar dengan konsep semacam ini. Penonton tidak meresponsnya," kata pengamat teater Halim H.D.
Memang, yang terjadi kemudian adalah naskah menjadi agak panjang dan bertele-tele. "Kelemahannya memang tidak ada kontrol. Tempo pemanggungan menjadi lambat," ujar Nandang. “Para aktor membaca naskah, tapi tak semata-mata patuh. Pemain mengembangkan sendiri dari naskah itu.”
Boleh dibilang, konsep pemanggungan model teater rakyat ini banyak memberi kejutan estetik. Ya, mungkin inilah saatnya karya seni merapat lebih dekat dengan penonton.
ISMI WAHID | DWIDJO U MAKSUM