December Park, adalah sebuah taman. Laiknya taman dengan banyak bunga, maka tema pameran itu adalah sebuah kolaborasi tiga perupa, yakni Allatief, Peter Gentur dan Kuat. Bersama-sama, mereka pamerkan lukisan di Galeri Biasa Yogyakarta, sepanjang 4-14 Desember ini.
“Mereka mencoba menyuguhkan taman seni dengan drawing, lukisan dan instalasi,” kata Yaksa Agus, seorang seniman, menyambut pameran itu.
Lukisan karya Allatif hampir tanpa obyek manusia di dalamnya. Kidung Rindu Sang Altar, misalnya, dibuat di atas kanvas berukuran 140 X 120 sentimeter, lukisan itu menggambarkan sebongkah batu menhir dengan ranting kayu di sekitarnya. Ya, sebuah pemandangan yang sunyi. Apalagi warna yang ditampilkan dalam lukisan itu didominasi monokrom kecoklatan. Itu kian memperkuat bayangan tak ada kehidupan di sana.
Cerita yang sama juga ditemui di karyanya yang lain, Firdaus Express. Dilukis di atas kanvas berukuran 140 X 100 sentimeter, hanya ada sebuah obyek dalam lukisan itu, yakni sapuan cat membentuk vertikal yang menyerupai sebatang pohon. Lagi-lagi tak terasa nadi kehidupan di dalamnya.
Seakan melengkapi cerita sunyi dalam lukisan-lukisan karya Allatief, “Kehidupan” justru hadir dalam lukisan karya Peter Gentur. Dalam pameran itu, dia menampilkan lukisan potret diri manusia dalam berbagai ekspresi. Dalam tiap karyanya, Gentur sekaligus cukup kental menyajikan kegelisahan dan harapan yang akrab dijalani manusia.
Sendiko Dawuh, misalnya, bercerita tentang seorang perempuan tua yang duduk bersimpuh –seakan menanti perintah. Lukisan itu berukuran 69 X 93 sentimeter. Berbeda dengan lukisan Allatief yang menggunakan kanvas dan cat, Gentur justru membuat lukisannya dari coretan pena di atas kertas. Dari perbedaan itulah setidaknya dapat dinikmati keragaman seni lukis dalam pameran itu.
Namun, perlu dimaknai bahwa dengan coretan yang terkesan tak beraturan itulah, “kehidupan” dihadirkan. Satu persatu, wajah-wajah manusia terlukis dari karya Gentur. Ada belasan atau puluhan wajah yang dia tampilkan. Dari berbagai ras, usia, hingga jenis kelamin. “Garis-garis ekspresifnya justru menjadi sebuah pembacaan atas setiap orang,” kata Yaksa.
Lalu, apa artinya alam dan manusia tanpa aktifitas kerja. Yaksa mengatakan Kuat hadir dengan membawa gambaran kehidupan di sekitar taman. Pesan itu jelas tergambar dalam lukisan Kuat yang menampilkan potret kehidupan sosial.
Lihatlah karya Kuat yang berjudul Penuh Harap berukuran 148 X 180 sentimeter yang menampilkan sesosok lelaki memanggul karung di pinggiran kota. Atau, lukisan berjudul Oleh-Oleh Dari Kebun Tetangga yang menggambarkan seorang lelaki lain yang sedang membawa setandan pisang dengan sebilah arit terselip di karet celananya.
Lebih dari sekedar menampilkan sebuah aktifitas kehidupan, menurut Yaksa, Kuat ingin menunjukkan keberpihakan dari karyanya. “Taman tak akan hidup tanpa sosok orang-orang kelas bawah,” ujarnya.
Kini, lengkaplah potongan cerita “taman di bulan Desember” itu terjalin. Dipersiapkan sejak April-Mei setengah tahun lalu, semestinya ada lebih banyak perupa yang ikut meramaikan kisah di taman. “Namun hingga akhir Oktober hanya tiga seniman itu menyatakan kesediannya,” kata Oppie, yang turut menyiapkan pameran itu.
Tak apalah. Setidaknya, tiap karya ketiga perupa itu telah mengundang kita untuk berpetualang menyusuri tiap sudut taman. Apakah kesimpulan ceritanya akan berakhir ceria, kelabu atau bahkan menjadi Desember kelabu. Itu terserah anda.
ANANG ZAKARIA