Bukan dalam makna sebenarnya, hewan itu adalah patung yang dipersembahkan perupa Dunadi dalam pameran tunggalnya di Jogja Gallery, Jumat malam kemarin. “Orang berteriak dan keluarlah semua hewan dari mulutnya,” kata Dunadi menjelaskan konsep patung-patung yang dibuatnya.
Menurut dia, ada sebuah pesan yang hendak dia ungkapkan dari karya itu. Yakni, sebuah pesan moral untuk kegelisahaan terhadap realitas sosial yang terjadi di masyarakat saat ini. “Sedikit-sedikit, orang sekarang mudah sekali terpancing kemarahan,” ujarnya.
Jika sudah begitu, maka keluarlah semua umpatan. Semua jenis hewan, seisi hutan mungkin, akan disebut untuk meluapkan kejengkelan.
Nyanyian Kegelapan (Singing on the Darkness), demikian tema pameran patung yang diangkat Dunadi. Karya itu merupakan satu rangkaian patung-patung yang membentuk satu kesimpulan. Mempertanyakan kembali keberadaan manusia di tengah hubungannya dengan manusia lain.
Berangkat dari ide itulah, Dunadi menilai tak ada lagi etika atau penghormatan dalam aktifitas percakapan antar manusia. Hanya ada kesan sinis dan intimidasi dalam tiap perbincangan mereka. Itu yang dianggap Dunadi sebagai sebuah kegelapan. “(karya) itu gejolak dalam hati selama ini,” katanya.
Edhi Sunarso, seniman patung sekaligus pengajar Dunadi semasa menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, menilai mantan mahasiswanya itu memiliki kemampuan menampilkan karya secara simbolik. “Impresif dan ekspresif,” ujarnya.
Sebagai seorang seniman, Dunadi telah mengukuhkan diri sebagai pematung realis yang handal lewat karya-karyanya. Meski itu tak terucap secara khusus dalam karya yang dituangkan Dunadi. “Seorang seniman patung,” kata Edhi, “kalau sudah bisa berkarya dalam bentuk realis, dia akan cari bentuk lain.”
Bentuk lain yang dimaksud Edhi adalah seperti tertampilkan dalam karya Dunadi itu, figuratif dan ekpresionis.
Namun benar adanya ungkapan itu, yang jelas, di luar pesan moral yang disampaikan Dunadi dalam karyanya, orang harus mengakui bahwa patung karyanya begitu nyata terasa. Dia hadirkan patung sesuai wujud aslinya. Bahkan, ukurannya.
Tak heran jika Direktur Eksekutif Jogja Gallery KRMT. Indro “Kimpling” Suseso menilai puluhan “hewan” itu memenuhi galeri miliknya. “Berukuran sebesar ruangan galeri,” kata dia menyambut karya Dunadi.
Dia sekaligus mengungkapkan kekaguman atas kemahiran sang seniman dalam menata ruang pameran. Hewan-hewan itu benar-benar terkesan berlarian saling susul satu sama lain.
Dengan ukuran sesuai aslinya, patung gajah, misalnya, ditampilkan terpotong-potong. Namun rangkaiannya tetap saling berhubungan. Satu bagian, tubuh hingga kepala, ditempel pada satu dinding. Kesannya, seekor gajah baru saja menembus dinding.
Sementara di sisi dinding lain, potongan patung gajah yang hanya terdiri tubuh hingga ekor ditempelkan. Sehingga terkesan gajah itu sedang menembus dinding. Untuk menciptakan kedua gajah sedang berlarian dan saling susul, diantara kedua gajah itu, ditampilkan satu patung gajah lain yang lebih kecil.
Seperti idenya yang tak terbatas, bagi Indro, karya Dunadi pun sesungguhnya tak bisa dibatasi dengan ruang.
ANANG ZAKARIA