Pria bernama Kustoyo itu kemudian terdiam. "Bidan pun tidak bisa mengeluarkan surat apa-apa," ujarnya kemudian. Terdiam lagi selama beberapa detik, pria separuh baya itu dengan tercekat berkata, "Saya tidak bisa ngomong apa-apa lagi."
Kustoyo adalah suami Lilis Lisdawati, perempuan korban salah tangkap dalam sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Tangerang. Peraturan ini melarang perempuan berada di tempat umum pada malam hari. Dua tahun lalu Lilis meninggal dunia akibat depresi.
Cuplikan di atas adalah satu dari beberapa dokumen kekerasan terhadap perempuan yang dibuat dalam film arahan sutradara Abduh Aziz. Film dokumenter berdurasi 40 menit ini juga mengambil contoh kekerasan yang dialami perempuan Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat dan perempuan yang terpaksa memakai jilbab akibat Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 di Nanggroe Aceh Darussalam.
Film ini mulai digarap pada Februari 2010 dan selesai bulan lalu. Pengambilan gambar dilakukan di Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, Bulukumba (Sulawesi Selatan), Aceh, dan Lombok. Tanpa banyak berbasa-basi, melalui keterangan korban dan saksi, potongan surat kabar, serta sedikit narasi, film ini membuka mata penonton bagaimana kekerasan terhadap perempuan benar terjadi di Indonesia.
Kenangan manis dari masa kecil Abduh berperan dalam pembuatan film ini. Ketika tumbuh di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan, Abduh bercerita, keluarganya hidup berdampingan dengan keluarga Cina, keluarga beragama Katolik, dan keluarga Bali yang beragama Hindu. “Waktu itu tidak ada isu perbedaan," kata Abduh dalam diskusi usai pemutaran film.
Hingga suat hari ia dibuat terkejut tatkala teman anaknya melarang sang anak untuk bermain dengan teman mereka yang beragama Kristen. “Intoleransi itu ternyata malah hadir dalam bentuk yang paling dekat dengan saya, yaitu anak saya. Sorga di masa kecil saya hilang dengan adanya pemaksaan kehendak seperti itu,” katanya.
Dari sinilah, Abduh kemudian tertarik dengan isu kekerasan terhadap perempuan dan membuatnya terlibat bersama Komisi Nasional Perempuan menggarap film Atas Nama. “Saya tidak mau anak-anak hidup dalam ketakutan dan ketidakjujuran,” kata Abduh. Ia menilai tafsir agama dan peraturan daerah berdasarkan sistem patriarki, pada akhirnya menempatkan perempuan sebagai subordinat.
Fanny Febiana