Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus berencana untuk membangun museum di lokasi tersebut dengan anggaran Rp 16 miliar. Pemerintah Desa Terban telah menyiapkan lahan seluas 7.500 meter persegi. “Kami masih mengkaji asal sumber dananya,” kata Supani.
Rencana itu sudah digulirkan sejak 10 tahun lalu, kata Mustofa, tapi tidak pernah direalisasikan. “Rupanya museum ini belum dibutuhkan pemerintah kabupaten,” kata dia.
Jumlah fosil Patiayam mencapai sekitar 3.000 fosil dan fragmen. Menurut Supani, 2.000 fosil di antaranya belum diidentifikasi. Bahkan, jumlahnya akan terus bertambah karena Balai Arkeologi Yogyakarta sering melakukan penelitian dan evakuasi di sana. Untuk sementara, 1.200 fosil tersimpan di balai desa dan sisanya disimpan di Kantor Dinas Kebudayaan. Balai Arkeologi Yogyakarta sedang melakukan identifikasi guna melindungi aset daerah Kabupaten Kudus. “Kalau tidak segera diidentifikasi, kami khawatir akan hilang,” kata Supani.
Sebagian fosil itu di antaranya berupa gading gajah purba yang sepanjang 3,7 meter dengan kisaran usia 700 ribu-1 juta tahun yang lalu. Ada pula fosil kerang, kepala kerbau, rahang kuda nil dan rahang gajah. Hasil temuan fosil Patiayam lebih lengkap dan beragam dan termasuk dalam peta paleoantropologi di Indonesia setelah Sangiran, Trinil, Ngandong, Ngawi dan Perning. Situs Patiayam juga masuk dalam daftar warisan dunia yang dikeluarkan UNESCO.
Selain fosil binatang purba, di lokasi itu juga ditemukan fosil manusia purba kelompok hominid atau homo erectus. Peneliti pertama yang masuk ke Patiayam adalah Van Es pada 1931. Pada waktu itu, ia menemukan sembilan fosil vertebrata. Kemudian menyusul Van Bemmelen pada 1948. “Untuk yang terakhir ini, kami masih menunggu kajian Balai Pelestarian Fosil Sangiran,” kata Hadi Sucipto, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus.
Bandelan Amaruddin