Novel ini menjadi satu dari sedikit karya sastra yang berlatar konflik Maluku pada 1999-2004, sebuah episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia dekade ini.
Novel setebal 512 halaman yang diterbitkan Komodo Books ini berkisah tentang sekelompok anak muda (Mey, Ali, Melky, Ridwan, Peter, dan Aisah) yang terjebak dalam pusaran konflik yang menggerus kerukunan antarsuku dan agama di sana. Prihatin atas kenyataan itu, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, para intelektual muda itu terdorong untuk terlibat dalam usaha-usaha menolong korban dan menyerukan perdamaian.
Baca Juga:
Namun, seruan damai itu justru membuat mereka dimusuhi kedua pihak yang bertikai, diintimidasi dan diteror oleh semua kepentingan yang menginginkan konflik terus berkepanjangan. Di tengah pertarungan kepentingan yang menakutkan itu, Ratna meletakkan kisah cinta dua insan berbeda agama, Ali dan Mey, yang berujung pada cinta segitiga yang panas dan menyakitkan.
Untuk menyusun novel ini, penerima The Female Special Award for Human Rights 1998 dari The Asia Foundation of Human Rights Jepang ini melakukan riset mendalam selama setahun di kawasan Maluku, termasuk Ternate dan Maluku Utara. Untuk mendapat gambaran yang utuh mengenai konflik saat itu, ia mewawancarai para korban, pemangku kepentingan, budayawan, pedagang di pasar, hingga sopir angkutan kota.
Hasilnya, novel ini dapat mengurai banyak sisi dari konflik tersebut, termasuk masalah perusakan budaya, ketidakberpihakan undang-undang kelautan, dan pemanfaatan anak-anak di bawah umur sebagai mata-mata dan pelempar bom molotov.
Novel ini melengkapi daftar karya sastra, khususnya drama, yang pernah ditulis oleh perempuan kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, 16 Juli 1949 itu, seperti Alia Luka Serambi Mekah, Marsinah Menggugat, dan Anak-anak Kegelapan.
Iwank