TEMPO Interaktif, Bandung - Perang besar tinggal menunggu aba-aba. Seorang prajurit telah mengusung panah, begitu pula bayangan sesosok tubuh di balik layar. Kain itu menegaskan kehadiran dua pihak yang berseberangan.
Musik menggemuruh. Unjuk kekuatan pasukan Astina dan Kurawa ditunjukkan dengan berbagai jurus silat. Selama hampir 10 menit, persiapan perang tampil silih berganti di atas panggung dan gambar video di layar latar pertunjukan. Tiupan peluit dalang Dede Candra Sumirat akhirnya menarik perhatian penonton ke punakawan wayang golek yang muncul satu per satu.
"War again, war again," kata Cepot dengan suara khasnya setelah Dawala (Petruk) berlalu. Ketegangan hiruk-pikuk menjelang perang menurun. Boneka wayang berwajah merah menyala itu kemudian menyemburkan petuah kebangsaan. Untuk meyakinkan ucapannya, Cepot menghadirkan cuplikan rekaman gambar tokoh yang beberapa waktu lalu singgah ke Jakarta.
"Assalamualaikum," kata Barack Obama di layar yang dibalas Cepot. "Pulang kampung nih," lanjutnya di potongan gambar kedua, hingga Presiden Amerika Serikat itu menyebut Bhineka Tunggal Ika, riuh sekitar 100 penonton memenuhi Gedung Kesenian Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung.
Kelompok teater Behind the Actor's, Kamis (25/11) malam tadi menampilkan pertunjukan wayang keroncong. Sutradara Asep Budiman meramu permainan wayang golek, wayang orang, teater, dan multimedia dengan iringan lagu keroncong, pop, dan lagu rakyat. Nayaga yang duduk berkelompok di sayap depan panggung bersama kendang, bass, flute, dan ukelele, mengiringi vokal penyanyi perempuan.
Berlakon Bisma Roboh, kisah peperangan keluarga Pandawa dan Kurawa di padang Kurusetra itu diawali pertemuan Bisma dengan Dewi Amba. Bisma menolak hidup bersama dengannya karena telah bersumpah tidak kawin seumur hidup. Dewi Amba akhirnya memilih mati dengan cara membakar diri. Bisma harus hidup mewarisi kebencian Dewi Amba.
Adegan kematian itu digambarkan dramatis. Ketika sukma Dewi Amba yang sosoknya dihadirkan lewat wayang golek melayang, seekor burung merpati putih terbang sangat pelan di layar. Kepakan indah sayapnya melintasi bayangan hitam Bisma yang masih bersembunyi di belakang layar.
Musik kembali bergemuruh di medan laga Kurusetra. Bala tentara maju berhadapan. Perang Baratayudha pecah. Langit dan tanah memerah. Adegan perang berpindah-pindah dari atas panggung, visualisasi di layar, lalu ke permainan wayang golek. Bima dengan gadanya menghantam lawan-lawannya dengan perkasa.
Cepot tak ketinggalan. Bedanya, laga di atas batang pohon pisang itu kerap memancing tawa. Berkali-kali terjungkal, dalang tetap menghidupkan Cepot dengan kepala dibawah. Akhirnya ia bisa membuat pingsan lawannya setelah membuang gas dari balik sarungnya. Pertarungan itu dipungkasi sang dalang dengan melempar kedua wayang golek itu ke lantai.
Tata cahaya yang baik berhasil menyatukan bayangan wayang golek, Bisma di balik layar, dan wayang orang di panggung, membangun rangkaian cerita. Walau seakan berada di ruang berbeda, seluruh bagian pementasan itu termasuk dalang, olahan gambar ilustrasi serta video tampil padu. Panggung yang nihil properti itu pun tak menjadi sepi.
Puncak pertunjukan sepanjang lebih dari satu jam itu adalah kematian Bisma. Anak panah Srikandi yang dilengkapi milik Arjuna, merobohkan jawara perang berhari-hari itu. Anak panah lainnya menyelimuti tubuhnya yang besar. Perang berakhir.
Di ajang Festival Wayang Internasional kedua di Hanoi, Vietnam, September lalu, pementasan wayang tersebut meraih 4 dari 15 penghargaan, yaitu untuk pertunjukan, dalang, artistik, dan desain terbaik.
ANWAR SISWADI