TEMPO Interaktif, Bandung - Ketukan berirama seperti orang sedang menumbuk padi menyusup di tengah lagu Di Nagara Deungeun. Di sudut depan panggung terlihat perempuan kembar tengah asyik mengetuk-ngetuk ujung sepasang tongkat kayu pendek ke balok kayu panjang yang membujur horizontal. Itulah txalaparta, alat musik tradisional Spanyol yang lihai dimainkan Sarah dan Maika dari kelompok Ttukunak. Kolaborasi rancak karya kelompok Samba Sunda, Ttukunak, dan pemusik asal Inggris, Collin Bass, itu muncul di hari terakhir West Java World Music Festival 2010 di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung, 19-20 November.
Samba Sunda, yang sejak siang telah dinanti 500 lebih penonton, sore itu membawakan delapan lagu. Meski pada lagu pertama berjudul Bandung, mikrofon yang digenggam Collin Bass sempat bersuara kecil, penampilan kelompok musik asal Bandung itu cukup menarik. Permainan ritmis perkusi, arumba, dan instrumen modern mampu menghangatkan suasana, terutama saat mereka membawakan lagu terakhir, Jaleuleuja. Lagu riang dengan balutan vokal rap dan hip-hop itu menjadi senjata pamungkas yang mengajak tubuh penonton bergerak.
Semarak World Music Festival yang pertama kali digelar Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat itu tampak sejak hari pertama. Perhelatan musik yang diikuti musisi lokal dan mancanegara itu dibuka dengan permainan angklung 2.010 pelajar sekolah dasar, sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan kelompok ibu PKK. Permainan angklung itu sekaligus untuk menyambut disahkannya angklung oleh UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia.
Setelah itu, dua panggung besar di tengah dan samping pagar pembatas monumen bergantian diisi oleh penampilan Komunitas Bangun Pagi, Collin Bass, Jenny Weisgerber asal Jerman, Ttukunak, serta kolaborasi Dwiki Dharmawan dengan World Peace Orchestra dan Kamal Musallam dari Dubai, Uni Emirat Arab. Namin D' Bajidor menutup pertunjukan hari pertama yang sempat disiram hujan.
Kelompok akustik Akarkina tampil membuka panggung di hari kedua. Menyusul pemain perkusi Ron Reeves dari Australia bersama kelompok Warogus dari Indonesia. Pada beberapa lagu, Ron menyuguhkan permainan kendangnya. Menjelang sore, kelompok Saratus Persen dan 4 Peniti serta Jenny Weisgerber tampil sebelum Samba Sunda. Penonton terus mengalir hingga Viky Sianipar membuka kembali panggung yang sempat kosong setelah jeda hingga pukul 19.30 WIB.
Viky dan kelompoknya, yang beranggotakan pemain dari berbagai daerah, menyapa penonton dengan intro seperti lagu house music. Pukulan kendang, perkusi, dan tiupan trompet tradisional melebur ke dalam instrumen modern. Viky selanjutnya memimpin anggotanya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia memainkan lagu berjudul Horas Banyuwangi. Gamelan dan raungan gitar yang kasar menjadikan lagu instrumental itu kental dengan unsur musik rock.
Malam itu, Viky membawa kekayaan musik tradisional Indonesia, mulai tanah leluhurnya di pinggir Danau Toba, Flores, hingga Papua. Viky menutup pertunjukannya dengan menggubah lagu Message in the Bottle milik The Police.
Yang menarik, penampilan kelompok Krakatau yang sengaja menyetel semua alat musiknya ke slendro dan pelog. Tak mengherankan jika nada-nada keyboard, gitar, dan bas kelompok yang kini berusia 26 tahun itu terdengar tak biasa. Toh, banyak penonton yang ingin menyaksikan hingga tuntas walau sebagian bergeser karena mengaku tak mengerti lagu yang didengarnya. Memainkan Genjring Party, The Spirit of Peace, dan Tarek Pukat, Krakatau menggandeng Kamal Musallam untuk memainkan oud. "Itu kalau di sini sama seperti gambus," kata Dwiki.
Alat musik petik itu mengalirkan suasana padang pasir. Tepukan tangan penonton mengiringi seirama. Pada lagu Topeng Jazz, Krakatau bermain bersama seorang penari wanita topeng Cirebon. Tarian itu berkisah tentang perjalanan hidup manusia sejak bayi yang dilambangkan dengan topeng putih hingga dewasa lewat pergantian topeng merah di tengah lagu. Begitu Dwiki pamit, penonton yang kian bertambah hingga memenuhi jalan di depan panggung langsung beralih ke panggung samping.
Di sana, kelompok calung penyanyi pop Sunda, Darso, yang fenomenal telah menunggu. Di antara para pemain pengiringnya yang berseragam kostum berwarna merah dengan kain sarung menyilang di badan, Darso berjas dan berpantalon putih serta berdasi. Dari jauh, sepatu bulu yang dipakainya nyaris tak terlihat. Tembang Engklak-engklakan, Hayang Kawin, dan beberapa lagu band lain memanaskan penonton di bagian depan untuk berjoget. Saat itu festival yang akan dipungkasi oleh Balawan seperti telah mencapai puncaknya.
ANWAR SISWADI