Mereka tak sekadar menari. Mereka menari dengan taksu, seperti ada roh dalam tarian yang mereka bawakan. Lihat saja Ida Bagus Oka Wirjana. Di usia sepuhnya, 81 tahun, ia masih trengginas membawakan tari Kebyar Duduk. "Saya adalah penari. Kebahagiaan tertinggi saya adalah menari. Saya memberi senyum kepada mereka dan mereka membalasnya," ujar Wirjana saat workshop tari seperti ditirukan Dedy.
Awalnya, Wirjana diminta untuk membawakan dua tarian, yaitu Kebyar Duduk dan Kebyar Tarompong. Karena kondisi fisiknya tak memungkinkan, ia hanya menarikan satu macam. Lainnya dibawakan oleh penari dari Lembaga Kesenian Saraswati.
Tari Bali yang serba dinamis, baik sisi gerak dan musiknya itu, tak menyurutkan Wirjana. Ia mampu menyelesaikan geraknya dengan baik. Meski ia nampak terengah-engah ketika memberi salam pungkasan untuk mengakhiri tari.
Lain lagi dengan Abdullah Abdulrahman, maestro tari Seudati. Ia mendapat gelar Syeh Lah Geunta karena kehandalannya bermain seudati. Bersama tujuh penari lelaki, mereka membawakan tarian itu dengan gaya yang khas.
Petik jemari menjadi semacam tempo yang harus dipatuhi untuk menyamakan gerak. Sesekali mereka menepuk perut dengan telapak tangan. Semakin menambah semangat saja. Selain itu, lantunan lagu menambah rampak tari semakin terlihat.
Awalnya, tari Seudati adalah kesenian dakwah. Tetapi setelah berkembang, tarian ini menjadi hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat Aceh.
Dalam pertunjukan malam itu, tiga maestro tari Pakarena – Munasiah Najamuddin, Wiwiek Sipala, Andi Ummu Tunru – membawakan tari Pakarena Baine, tari Pakarena untuk perempuan. Bahkan Andi Ummu, yang sehari-harinya memakai kursi roda, tetap membawakan tarian dari Kerajaan Gowa itu meski dengan keadaan duduk.
Mereka adalah maestro di bidangnya. Benar saja, ada semacam gaya yang tak bisa disamakan satu dengan lainnya. Meski mereka menari berbarengan dalam satu waktu, ada interpretasi berbeda akan musik.
Satu lagi maestro Pakarena, Daeng Manda, membawakan tari Pakarena Burakne, tari khusus lelaki. Pria sepuh 71 tahun ini terlihat terbata-bata melafalkan sebagian gerak Pakarena. Bahkan ketika beranjak berdiri dari posisi duduk, ia terlihat sangat tertatih. Memang begitulah, Daeng Manda tak lagi luwes karena usianya telah uzur.
Ada juga maestro musik iringan Pakarena, Kalimuddin Daeng Tombong. Ia bersama pemusik lain membawakan lagu-lagu tradisional.
"Tak sulit mendapatkan mereka," ujar Dedy. “Kapasitas mereka sebagai maestro bukan karena sudah pentas di berbagai tempat. Tetapi karena mereka diakui masyarakat lokal.”
Ya, menjadi penari itu boleh dibilang sulit. Ttapi hampir dipastikan, menjadi maestro di bidangnya tentu lebih susah lagi. Bagi mereka, para maestro tari, menari bukan hanya sekedar menggerakkan tubuh dan memperlihatkan keindahan di dalamnya. "Ada semangat dan greget," kata Dedy.
ISMI WAHID