Negeri pelangi berubah muram sejak kehadiran seorang laki-laki berwarna Brotowali. Lelaki yang baru pulang menuntut ilmu di negeri seberang itu mendirikan organisasi bernama Penegak Kemurnian Kepercayaan alias PKK. Bersama pengikutnya dia menyebarkan keyakinan baru yang mengkultuskan satu warna saja, hitam. Warna-warna lain dianggap haram. Orang-orang yang mengenakan pakaian dan sepatu warna-warni dianggap mengikuti ajaran iblis. Maka mereka pun membuat peraturan baru, diantaranya mewajibkan semua anak memakai sepatu hitam dan melarang semua pedagang berjualan sepatu selain sepatu hitam. "Keseragaman itu perlu untuk hidup kita," ujar Brotowali.
Ibu-ibu Negeri Pelangi geram lantaran suami mereka berubah total sejak menjadi pengikut PKK. Dipimpin Kembang Seronce, para ibu ini memprotes para suami yang kerap memaksa anak-anak mereka mengenakan sepatu hitam. “Apa hubungannya memakai sepatu hiam dengan usaha menyelamatkan diri, lagipula sejak dulu negeri kita dikenal dengan warna-warninya” protes Pandan Suci diamini ibu-ibu lainnya. Tapi para suami yang sudah dipengaruhi Brotowali bergeming. “Tidak semua peninggalan di masa lalu itu bagus,” begitu jawaban mereka.
Pandan Suci makin kesal karena sang suami juga kelihatan tidak peduli dengan perubahan anak perempuan mereka Wangi Cendana. Pandan Suci resah lantaran Wangi yang dikenal sebagai anak yang rajin dan pintar, belakangan sering bolos sekolah. Keresahan menjalar ketika ibu-ibu di negeri itu
tahu ternyata anak-anak mereka juga melakukan hal serupa. Setelah mencari ke sana kemari, para ibu itu menemukan anak-anak mereka tengah bermain di sebuah taman tersembunyi.
Belakangan para ibu ini baru tahu bahwa anak-anak mereka takut ke sekolah karena di sekolah mereka tak lagi bisa bebas berekspresi. Selain diwajibkan memakai seragam dan sepatu serba hitam, berbaris laksana robot, mereka juga kerap mengalami penyiksaan oleh sang guru bila melakukan kesalahan.
Lihatlah bagaimana anak-anak itu satu persatu dipukuli, dicubit, ditampar, dan dijewer ketika ada salah seorang murid tak sengaja buang angin. “Kalian sudah melanggar kesopanan dan kesusilaan,” teriak sang guru perempuan yang juga menjabat kepala sekolah. Rupanya pengaruh Brotowali sudah sampai ke sekolah. Para ibu dan anak-anak ini-didukung tokoh negeri pelangi Buluh Sembilu- lantas sepakat melakukan perlawanan.
Inilah karya ke 17 Sanggar Anak Akar yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15-16 November lalu. Pentas bertajuk Nyanyian Negeri Pelangi yang disutradarai oleh Ibe Karyanto itu bercerita tentang keberagaman dan kemajemukan . Pertunjukan yang melibatkan anak-anak berusia enam sampai lima belas tahun-baik sebagai pemain maupun pemain musik- dikemas dalam pertunjukan teater musikal yang tak hanya mengandalkan kekuatan dialog tetapi juga kemampuan menari dan menyanyi.
Selain mengajarkan tentang indahnya keberagaman, Nyanyian Negeri pelangi juga membawa pesan tentang buruknya efek kekerasan, terutama bagi anak-anak. Pentas berdurasi sekitar satu setengah jam itu pun diawali dengan cuplikan rekaman berita radio tentang pertikaian dua kelompok masyarakat. “Negara kita adalah negara hukum maka segala kasus kekerasan harus diselesaikan secara hukum,” begitu pidato salah seorang petinggi negeri.
Asistan Koordinator Acara, Saneri mengungkapkan, pertunjukan ini dipersembahkan bagi para pemangku kekuasaan agar mereka bisa tetap terus menjaga hak-hak para warganya. “Jangan pernah memaksa setiap individu untuk melakukan hal-hal yang tidak di luar kehendaknya,” katanya.
Nyanyian Negeri Pelangi digelar untuk memperingati 16 tahun berdirinya sanggar yang terletak di daerah Gudang Seng, lima meter dari bantaran sungai Kalimalang, Jakarta Timur. Sehari sebelumnya, Sanggar Anak Akar bekerja sama dengan klub sepeda Kani Gowes menggelar Charity Fun Bike Gowes alias bersepeda bareng sambil beramal. Rutenya mengitari Cikini – Tugu Tani – Monas – Thamrin – Bundaran Hotel Indonesia – Diponegoro dan kembali lagi ke Gondangdia – Cikini. Acara yang digelar sejak Ahad pagi itu juga dimeriahkan dengan lomba gambar anak, pasar murah dan aneka dolanan anak-anak. “Selain untuk membiayai Sanggar Anak Akar, sebagaian dana yang terkumpul juga akan disumbangkan untuk korban bencana alam di Wasior, Mentawai, dan Merapi,” jelas pengelola Sanggar Anak Akar, Susilo Adi Negoro.
SanggarAnak Akar berdiri pada 22 November 1994 sebagai bagian dari badan advokasi anak Institut Sosial Jakarta. Sanggar ini kemudian berkembang menjadi semacam “kampus” berupa kompleks bangunan di atas tanah seluas 700 meter persegi yang dilengkapi aula bermain, bangsal tidur, perpustakaan dan ruang komputer. Sanggar anak akar menjadi rumah singgah bagi puluhan anak jalanan dan anak-anak kurang mampu yang datang dari pemukiman rakyat di Kampung Melayu, Penas dan Bantar Gebang.
Dari sebuah program pengembangan komunitas anak jalanan, hingga kini menjadi model pengembangan manajemen pendidikan alternatif setingkat SMP. Sepanjang minggu, usai bersekolah, mereka melakukan pelbagai kegiatan: berlatih musik, olah vokal, hingga main teater sesuai dengan minat dan potensi anak masing-masing. Biola, bas, gitar, gendang, dan drum yang dipakai sebagian besar sumbangan donatur. Hasil kerja keras mereka berlatih, antara lain dapat disaksikan dalam pentas Nyanyian Negeri Pelangi ini
NUNUY NURHAYATI