Repertoar tari berjudul “Flight No 12” itu dimainkan Fitri Setyaningsih di Sanggar GEOKS, Singapadu, Ubud, Gianyar, Bali, Jumat malam lalu. Ia berusaha membangun imajinasi tentang situasi absurd saat berada di pesawat terbang.”Nasib kita berada di garis lurus pada satu jalur saja,” ujar Fitri Setyaningsih.
Adapun badan yang hanya tampak sampai di pinggang menunjukkan keterbatasan ruang gerak. Ia hanya bisa menggelepar dan memainkan tangan. Tanpa kaki yang bisa berjalan kemana-mana. Tali-tali yang berisi bola di ujungnya adalah gambaran situasi di angkasa raya dengan planet-planet yang beraneka rupa.
Nomor pertunjukan yang berdurasi sekitar 6 menit itu pernah dipentaskan Fitri dalam pertunjukan keliling pada 2007-2008. Ia menjelajah ke sejumlah panggung di Medan, Teater Utan Kayu (TUK), Galeri Nasional Jakarta, Bandung, dan Padang Panjang. Bedanya saat itu merupakan pementasan tunggalnya dengan desain panggung yang sudah disiapkan khusus untuk nomor itu.
Sedangkan pada pentasnya kali ini, Fitri harus berkompromi dengan pementasan yang lain sehingga tidak memungkinkan menggunakan setting panggungnya sendiri. Bakground panggung, misalnya, seharusnya seluruhnya berwarna biru untuk menggiring imajinasi penonton pada situasi di angkasa raya. Lantai yang malam itu berwarna hitam mestinya berwarna putih agar dapat memantulkan permainan cahaya. “Tapi saya tetap puas karena bisa menghasilkan imajinasi yang berbeda,” katanya.
Hal yang lain yang membedakan adalah kolaborasinya dengan Jane Chen di pertunjukan ini . Dalam kegelapan dan tanpa cahaya di permukaan tanah selama Fitri menampilkan eksplorasi geraknya, Jane bergerak menampilkan permainan benang-benang merah yang ditarik kesana-kemari. Ia seperti merajut labirin di atas bumi lewat gerakan yang samar, sehingga menghasilkan perpaduan absurditas di panggung.
Jane merasakan kedalaman intensitas gerak dalam kolaborasi itu. “Memang sulit dipahami sebagai tarian. Ini lebih mirip sebuah olah psikologi daripada pertunjukan,” ujar penari senior itu. Ia berharap, penonton dapat menangkap pesan itu meskipun belum cukup lazim ditampilkan di Bali.
ROFIQI HASAN