Tiga aktris berdiri di tengah panggung. Masing-masing berdiri di sisi sebuah kasur yang di tata tegak dengan kursi di depannya. Di sayap kanan seorang tua tengah menjahit kasur dengan kapasnya terburai. Dan di sayap kiri, seorang perempuan muda duduk diam, sendiri, memandang hampa ke penonton.
Ketiga aktris itu menatap ke penonton. Dara, yang berdiri di sisi paling kanan, berjalan ke depan panggung, dan menyampaikan pengakuan dengan lantang. Dara berasal dari sebuah daerah di luar kota Surabaya. Hidupnya diliputi kemiskinan yang membuatnya hanya tamat SMP. Bekerja di pabrik. Pacarnya melibatkannya ke dalam dunia kriminal, alkohol, dan dipaksa melayani nafsu seks pacar dan teman pacarnya. Ia lari. Ketemu seseorang yang dalam janjinya mencarikan pekerjaan, ternyata justru menjerumuskannya ke pelacuran di kawasan Kremil.
Selanjutnya, ketiga aktris itu lenyap di balik kasur berdiri, lalu muncul seorang anak berseragam SD berlari mendekati kasur-kasur seraya memanggil-manggil “mama”. Tak ada jawaban. Berusaha mencari di balik kasur. Tidak ada tanggapan. Berteriak lagi mengenai dirinya yang naik kelas dan meraih ranking 3 di kelasnya. Tak ada jawaban sampai ia berlari ke sayap panggung kanan dan hilang.
Kemudian muncul dua gadis berseragam SMP berlarian dari sayap kanan dan kiri panggung. Bertemu di tengah dan menyatakan bahwa mereka baru dikeluarkan dari sekolah dan berencana ke diskotik.
Adegan itu kemudian cair oleh dialog Dara, Erick, Krishna, dan ibu tua, yang terus-menerus menjahit kasur jebol, Bu Sri. Keempatnya bercakap lewat sahut-sahutan sepinya tamu malam itu di Kremil. Sesekali Bu Sri menyahuti dengan pernyataan kasar tapi menimbulkan respon tawa dari penonton. Kelucuan yang kasar tapi akrab itu hanyalah pernik kecil di tengah persoalan besar yang melingkupi kehidupan pelacuran Kremil.
Pementasan lakon Rembulan di Atas Kremil oleh Teater Berdaya dan Bengkel Muda Surabaya di Kompleks Balai Pemuda Surabaya, Rabu pekan lalu itu didasarkan kisah nyata para pekerja seks di kawasan Kremil. Kedelapan aktris yang ada di panggung bersentuhan langsung dalam kehidupan pelacuran Kremil. Keempat aktris merupakan pekerja seks yang masih aktif, sedangkan lainnya terkait langsung dengan kehidupan Kremil.
Persoalan yang diangkat di pentas adalah pengalaman nyata dan diperankan langsung oleh yang mengalaminya. Para aktris sama sekali tak berjarak dengan apa yang dialaminya. Hanya, para aktris itu tampak kaku dalam membawakan perwatakannya sekalipun itu masalah yang mereka alami sendiri. Boleh jadi lantaran mereka memang tak terlatih secara profesional sebagai pemain teater.
Lebih dari itu, beban psikologis yang menyelubungi para aktris membuat tubuh mereka tampak kaku. Jika dalam sehari-harinya para perempuan ini menganggap badan mereka adalah “barang” yang mereka jual pada tamu dengan bahasa yang tentu saja penuh keakraban. Tapi, di panggung badan para perempuan itu berada dalam situasi yang sama sekali berbeda. Di panggung mereka dihadapkan pada sorot mata penonton yang seakan menelanjangi. “Aku shocked. Aku melihat kehidupanku yang hina di depan penonton,” kata seorang pemain kepada Yayuk WL dari Hotline Surabaya yang terlibat dalam penggarapan ini.
Dramatik yang ditimbulkan dalam lakon teater yang disutradarai Zaenuri ini lebih disebabkan kesaksian-kesaksian yang dinyatakan langsung oleh para pelakunya sendiri. Demikian dramatisnya si Erick harus dijual oleh suaminya sendiri kepada teman-temannya. Si Erick dipukul, disekap, dan menyebabkan lari dan menjadi penghuni Kremil. Dua di antara mereka positif HIV. Persoalan berbeda dari masing-masing pekerja seks ini memiliki muara yang sama: Kremil.
Strategi kesaksian yang digunakan dalam pementasan ini menimbulkan empati para penonton. Para penonton disuguhi serangkaian kenyataan yang dalam kehidupan sehari-hari lewat begitu saja dan dibatasi oleh asumsi-asumsi moral yang beredar di masyarakat. Sebaliknya, bagi para pemain sendiri dibentangkan ruang terbuka sehingga apa yang terbungkam selama ini bisa dirasakan secara bersama. Anggapan bahwa diri mereka hina, menjijikkan di mata masyarakat, di panggung mendapat persaksian yang utuh.
Panggung menjadi ruang pembebasan bagi pekerja seks dan penonton. Masa lampau pekerja seks yang kelam dibongkar, sedangkan sekat moral pada penonton dilepaskan. Di sini panggung tidak hanya medium artistik sebuah pementasan, tetapi sebagai medium penyembuhan bagi pekerja seks atas traumatik masa lampau, kini, dan mendatang. Adapun penonton mendapat kesempatan untuk melihat sisi manusiawi pada diri pekerja seks dan persepsi merendahkan yang selama ini tertanam kuat secara sosial.
” Aku menjadi lebih percaya diri setelah mengeluarkan semua uneg-uneg,” kata si Dara usai pementasan.”Aku berharap berkeliling Indonesia dengan pentas teater ini.”
Zaenuri sendiri selaku sutradara mengaku bentuk penggarapan teater ini memberi kemungkinan lain dibandingkan jika sejak awal ia menggarap naskah yang sudah jadi dan diperankan dari kalangan teater sendiri. “Kenyataan di Kremil merupakan teater tersendiri dan kenapa tidak mengangkatnya seperti apa adanya?” katanya.
IMAM MUHTAROM (PENGAMAT TEATER)