Begitu selalu terjadi saat malam mulai menyergap. Kesepian itu ditampisnya dengan meraih canting, duduk di depan gawangan sembari memegang kain mori, lalu membatik.
Ya, Ine Febriyanti yang kita kenal acap memerankan perempuan keras bahkan liar dalam lakon-lakon sebelumnya, kini ia hadir dalam sosok baru. Ia menjadi Surti, perempuan Jawa biasa yang selalu membatik setelah kehilangan suaminya, Jen, karena dieksekusi Belanda.
Ine melakonkan monolog karya Goenawan Mohamad berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Jumat dan Sabtu malam lalu. "Ini kisah perasaan istri yang kesepian, cemas, dan cemburu. Antara imajinasi dan nyata saling bercampur," ujar sutradara Sitok Srengenge.
Ketika pagi menyimpan malam, tiga sawunggaling itu kembali dari perjalanan singkatnya. Mereka mengabarkan sesuatu kepada Surti. Tentang suaminya, Jen, yang baru saja mati ditembak Belanda. Setidaknya begitu dalam angan Surti. Ia menyimak baik tiap kata demi kata.
Inepun harus memerankan karakter berbeda pada adegan ini. Sebentar-sebentar ia menjadi Cawir, lalu berubah lagi menjadi Surti. "Saya harus memerankan 10 karakter. Dan itu tantangan bagi saya," kata Ine.
Tak mudah bagi Sitok menyutradarai naskah ini. Naskah yang sebelumnya ditulis Goenawan dalam bentuk essay, harus ditafsir ulang oleh Sitok bersama asisten sutradara, Seno Joko Suyono, agar menjadi suguhan pertunjukan yang pantas dinimkati.
Boleh dikata, lakon ini adalah surealis. Isi naskah sangat dinamis bergerak antara kehidupan nyata dan imajinasi si pemeran. Semua yang disampaikan tiga burung sawunggaling adalah rekaan dalam imajinasi Surti. Disinilah penyutradaraan harus hati-hati. "Salah penyutradaraan akan mengesankan tokoh Surti adalah sosok yang sedang tidak waras," ujar Sitok.
Dramaturgi dalam monolog ini hampir tak ada. Konflik tak terlihat gamblang. Konflik muncul justru saat Surti mengurai satu persatu cerita yang disampaikan oleh tiga burung sawunggaling itu. Lihat ketika Surti memerankan perempuan muda pejuang yang menjadi selingkuhan Jen. Ia terlihat sangat emosional. Kecemburuan akan suaminya. Atau ketika Baira menyelamatkan Surti dari terjangan peluru dalam alam imajinasinya.
Alur naskah berlapis-lapis. Bagaimana Surti harus menceritakan tentang detik terakhir sebelum kematian suaminya. Lalu nasib pejuang lain yang mengikuti Jen. Ada lagi kekasih gelap Jen. Lapis-lapis cerita itu saling tumpang tindih namun bertaut satu sama lain. Dan Sitok berhasil membikinnya menjadi mengalir.
Untuk menggambarkan karakter tiga burung sawunggaling, Sitok mempercayakan kepada Hartati untuk membuat koreografi tari. Tiap-tiap burung sawunggaling itu berbicara, Ine segera bergerak mirip dengan laku burung imajiner itu.
Bahkan ketika salah satu burung tersebut bercakap, tata lampu akan berubah sesuai dengan siapa burung yang berbicara. Penata cahaya Clink Sugiarto memanfaatkan tiga warna sebagai pembeda karakter sawunggaling : merah kembang sepatu, biru samudra, dan ungu.
Selain itu, suara burung imajiner ini diarahkan lebih kepada simbolitas. Tak ada referensi atas makhluk itu. Maka Jeffar Lumban Gaol dan Mogan Pasaribu membuatnya tak mirip dengan burung apapun.
Terkait dengan set dan properti, Sitok membikin suasana panggung serbaputih. "Imajinasi adalah tidak berbatas dan tidak berwarna. Putih sesungguhnya spektrum warna yang menampung semua warna," ujar Sitok. Batas belakang panggung, dipasang bentangan cermin. Tak lain, cermin dipilih untuk mencapai efek keluasan imajinasi. Sehingga dengan konsep tata panggung seperti ini, Sitok ingin mengesankan dunia mistis yang dialami Surti.
Sitok berhasil mengurai naskah essay yang tak berdramaturgi dan kemudian meraciknya dalam wujud artistik yang menarik. Selama dua hari pertunjukan itu, tiket terjual habis.
Surti kemudian memungkasi ceritanya dengan menuntaskan membatik, memperbaiki sayap Baira yang rusak dalam angan Surti. Samar-samar, ada sosok lelaki berbadan putih melintas. Dan keranda putih tinggi yang seolah tergantung itu, bergerak mengikutinya. Mungkinkah itu arwah Jen.
ISMI WAHID