Dengan konsep musik elektronik, keduanya mencoba menghadirkan kesadaran tentang alam semesta. Pemilihan konser yang digelar di Planetarium itu menjadi sebuah imajinasi tersendiri ketika Diddi mencoba menyentuh siklus kelahiran dan kematian planet-planet.
Visualiasi yang disokong oleh Planetarium memunculkan gambar-gambar kosmik luar angkasa yang menggugah. Gugusan bintang, gambaran planet dengan warna merah menyala, memang kerap menjadi “amunisi” dalam konser-konser Diddi. Iringan musik tersebut seolah mengajak penonton untuk mengembara di alam semesta dengan bebas. Lalu, pemikiran penonton pun diajak untuk merenungi kembali kodratnya di bumi dan “pengembaraan” tiap insan, tentang saat ini, esok, dan setelahnya.
Berangkat dari perenungan itu, keduanya menyatu dalam permainan komposisi elektrik dalam bunyi-bunyian kosmik yang syahdu. Mereka mengaitkan antara frekuensi, vibrasi, resonansi, dan kesadaran semesta. Melalui media elekronik seperti I Phone, I Pad, selain tentunya juga peralatan standar seperti Softsynth, digital, Sampler, Workstation, dan Synthesizer itu sendiri.
Diddi punya rumusan tersendiri tentang angka 11:11 yang jatuh pada tahun 2010 ini, dan jam konser 20.10 WIB. Dari penghitungan pitagorasnya, rangkaian angka ini bermuara pada satu hasil akhir yakni angka satu, yang bermakna oneness.
“Munculnya 11:11 menurut sebagian kepercayaan adalah tanda Intervensi Ilahi yang merupakan jembatan antara dualitas dan Singularitas. Dari pikiran dan perasaan menjadi satu keutuhan, yakni sebuah kesadaran tinggi. Dari egosentris menjadi sebuah kesadaran kesatuan,” kata Diddi menjelaskan.
Menurut Diddi, bank memori selular otak manusia selanjutnya diaktifkan untuk sedikit mengingat akan “sesuatu” yang jauh di dalam alam bawah sadar yang sudah lama terlupakan. “Yakni siapa Anda dan alasan apa kehadiran Anda di bumi saat ini, dari mana anda berasal, lalu kemana tujuan Anda setelah kehidupan saat ini,” ujarnya.
AGUSLIA HIDAYAH