Surti sepenuhnya menyimak apa yang dikatakan burung-burung itu. Selalu ada kisah yang mendebarkan hatinya. Sawunggaling mengikuti Jen, suaminya, sebelum mati. Jen adalah seorang komandan gerilya, seorang aktivis pergerakan yang ganjil dan gemar memburu mimpi.
Begitulah Ine Febriyanti akan melakonkan monolog karya Goenawan Mohamad berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling. Lakon monolog dengan sutradara Sitok Srengenge ini akan dipentaskan di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, nanti malam dan esok. "Ini perasaan istri yang kesepian dengan segala kecemasan dan kecemburuannya," ujar Sitok.
Ine akan tampil melakonkan Surti, seorang perempuan Jawa biasa juga ibu rumah tangga yang mengisi hari-harinya dengan membatik. Ia selalu begitu setelah Jen dibunuh serdadu Belanda. Segala yang dialami Surti, pikiran maupun perasaannya seolah terpantul. Ia berada pada keraguan tentang segala yang mistis, kegamangan tentang politik dan perjuangan fisik. Juga gairah, amarah, cemburu, dan rasa kehilangan yang saling berkelindan.
Surti selalu menanti cerita tiga burung sawunggaling – Anjani, Baira, dan Cawir – dalam setiap malamnya. Mereka saling menyaksikan enam anak buah Jen menyerbu bivak Belanda, dan tiga di antaranya tewas tertembak. Atau, mereka juga menyaksikan Jen memiliki kekasih gelap, seorang pejuang yang jauh lebih muda.
Semuanya berjalan dalam alam khayali Surti. Begitulah Ine harus berjuang untuk menampilkan kisah-kisah itu supaya mengalir. "Dalam lakon ini Surti melakonkan 10 karakter sekaligus," kata Sitok.
Penyutradaraan juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jika sembrono, salah-salah Surti akan terlihat seperti perempuan tak waras. Padahal naskah ini berkisah mengenai dunia batin perempuan Jawa yang terluka.
"Naskah ini mulanya adalah esei. Sulit ditemukan dramaturginya," tutur Sitok. Tantangan yang berat baginya karena alur dalam naskah tersebut tak ada awal, puncak maupun akhir. Maka yang dilakukan Sitok bersama asisten sutradara, Seno Joko Suyono, adalah menafsir ulang naskah dan kemudian menelisik elemen artistiknya.
Lakon ini tak selebihnya realis, bahkan cenderung semi surealis. Karena kisah yang dihadirkan berada pada kenyataan dan ruang imajinasi. Alur ceritanyapun sesungguhnya berjalan dengan struktur penuh ulang alik waktu. Dunia nyata dan khayali selalu berubah bergantian dalam kisah ini.
Sitok juga menambahkan unsur tari yang memperlihatkan ketiga burung sawunggaling dengan gerak yang berbeda. Ia mempercayakan kepada Hartati untuk menggarap koreografinya. Adapun bebunyian digarap oleh Jeffar Lumban Gaol dan Mogan Pasaribu. Mereka akan memperlihatkan bunyi burung sawunggaling yang tak nyata itu. Lalu, Dian HP akan menggarap lagu tentang mimpi.
Set dan properti panggung nantinya juga tak biasa. Sitok akan meletakkan cermin besar yang membentang di belakang panggung. Cermin tak lain menandai ketakterbatasan imajinasi. Tata panggung ini dibantu oleh arsitek Avianti Armand dan Lik War.
Selain itu, lantai dan semua properti akan dihadirkan dalam warna putih. Karena sifat warna ini justru menampung semua warna yang dianalogikan sebagai imajinasi yang tak berbatas dan tak berwarna. Ada lagi keranda putih yang diletakkan seolah tergantung agar terkesan surealis. Selanjutnya, simak bagaimana Surti dengan khayalan kesepiannya.
ISMI WAHID/Pelbagai Sumber