Dalam drama musikal itu dikisahkan Planet Erra diserbu benalu. Untuk melindungi planet dan alien sebagai rakyat di sana, Raja Thor turun ke medan perang. Secara jantan, ia menghadapi langsung gerombolan benalu. Namun, apa daya, jumlah musuh tak sebanding dengannya yang seorang diri. Akhirnya sang raja pun tumbang.
Perang antara Raja Thor dan kawanan benalu tak digambarkan dengan baku tembak senjata api atau tombak, melainkan disimbolkan dengan adu ketangkasan bermain djembe – alat musik perkusi dari Afrika. Saat penduduk Planet Erra kian kewalahan oleh serangan benalu, datang balabantuan Kwabena dan teman-temannya dari bumi. Kwabena Cs, yang telah terjangkiti virus lincah dan ceria dari Monster Modjambe, sangat piawai menabuh djembe. Musik ritmik yang mereka mainkan rupanya memberikan daya magis, sehingga Raja Thor yang terkapar kembali siuman.
Menurut Bintang Manira Manik, penata musik drama tersebut, sebenarnya konsep musik yang dimainkan adalah gaya pola tepuk kendang Sunda diterapkan untuk djambe. Lalu, di salah satu bagian drama musikal itu ada irama Macru yang diadaptasi dari tradisi penyambutan ala Afrika, Macru Yankadi. Ini dipilih untuk menguatkan ide cerita yang menampilkan simbol keberagaman semesta bisa berpadu harmonis,” kata Bintang, yang aktif di pusat kebudayaan untuk anak-anak dan remaja Jendela Ide Sabuga, Bandung, Jawa Barat, itu.
Dan menjelang akhir cerita drama musikal itu, planet digambarkan mulai hancur lantaran peperangan. Saat itulah datang Modjembe membawakan irama ceria sekaligus perdamaian seraya melantunkan syair-syair dalam balutan reggae. Bagian ini diperankan oleh Afro Moses, penyanyi reggae asal Australia.
Begitulah. Drama musikal yang melibatkan sekitar 50 pemain, terdiri dari anak-anak dan remaja, itu mendapat sambutan meriah dari para penonton yang memadati gedung Sabuga pada Ahad lalu. Kekecewaan para penonton, yang telah membeli tiket seharga Rp 50-100 ribu, karena pergelaran hari kedua sempat molor hingga hampir empat jam itu terobati dengan pentas drama musikal tersebut.
Ya, penampilan drama musikal yang menyuguhkan kolaborasi pelbagai instrumen dan komposisi musik dalam sebuah festival jazz memang sangat unik dan menarik. Menurut kurator Bandung World Jazz Festival, Djaelani, konsep yang diterapkan dalam perhelatan musik dengan tema “ Sound Through the Dimension” itu adalah mutual project. Yakni, proyek dibangun dengan asas saling pengertian untuk membuat komposisi musik yang baru. “Jadi antara instrumen tradisional yang digunakan dan harmoni jazz itu sendiri tidak berusaha saling mengalahkan. Tetapi berjalan beriringan dengan kesepakatan,” ujarnya.
Intinya, Djaelani menambahkan, membangun kesepahaman ritme, harmoni, dan lain-lain, akan menjadi sebuah dialog penting guna melahirkan karya musik baru. Dan dari komposisi baru itu diharapkan akan lahir keunikan dari karya tersebut.. “Inilah yang menjadi ciri dari Bandung World Jazz Festival 2010,” katanya.
Makanya, dari sekitar 40 penampilan di festival tersebut hampir semunya menyuguhkan proyek kolaborasi. Di hari pertama, antara lain, tampil Continental Jazz Crossover Project (Indonesia & Australia), De Lagaligo Syndicate (Makassar), dan Karinding Collaboration Project (Bandung). Lalu, di hari kedua, selain drama musikal The Trilogy of Modjembe, sejumlah musisi juga menyajikan perpaduan musik berbeda dalam sebuah proyek kolaborasi. Misalnya, Sujiwo Tejo berkolaborasi dengan Imelda Rosalin. Lalu, Prabumi dari Yogyakarta yang menampilkan perpaduan menarik antara instrumen musik tradisi dan modern.
GILANG MUSTIKA RAMDANI