Sarung menjadi sebuah perbincangan nonverbal pada pameran sejumlah karya perupa Teguh Ostenrik pada pengujung 2010 ini. Bertajuk “Sarong, Identity?”, sebanyak 12 patung dan sembilan lukisan dipamerkan di Galeri Semarang di Exhibition Hall, Jakarta Art District, Lower Ground East Mall, Grand Indonesia Shopping Town, sepanjang 6-20 November.
Ekspresi-ekspresi yang terselubung yang bersifat sarkastik itu memperbincangkan perihal sarung sebagai sebuah identitas. Sarung, yang tentunya lekat dengan budaya muslimin dan pakaian adat di sejumlah tempat di Tanah Air, menjadi sebuah simbol pengidentitasan seseorang berdasarkan kultur dan keyakinannya.
Patung-patung Teguh menggambarkan sebuah interaksi yang dinamis dengan sarung. Misalnya dalam karya bertajuk Sampai Mereka Mendewakanku, yang berwujud manusia perunggu yang berpose berdiri tampak lunglai dan hampir jatuh ke belakang, pijakan kakinya pun tak seimbang. Karya ini sudah dibuat Teguh setahun lalu.
Lalu, karya tentang aktivitas manusia perunggu yang terlihat seperti tengah menari. Gerak dinamis dalam diam itu seperti sebuah bagian dari tarian. Misalnya dalam karya She is Standing in His Room, digambarkan patung yang tengah melompat. Sebenarnya tak 100 persen tepat dikatakan demikian. Ia mengambang dengan pose menjulurkan satu kaki ke udara. Tubuhnya ditopang dengan sarung sebagai pijakannya.
Namun sebuah analogi sarung agaknya berbicara lebih dalam setelah melihat karya Tari(k)anmu. Manusia perunggu itu wajahnya terjerembap oleh tarikan sarung. Membuat ia duduk terkulai dengan wajah yang ditutupi kain.
Untuk melengkapi karya tiga dimensinya, Teguh menyuguhkan lukisan-lukisan berukuran besar. Digurat dengan latar cat merah bata, Teguh melukis beberapa patung tersebut sebagai bentuk penekanan secara visual. Sebagian lainnya merupakan lukisan yang temanya berdiri sendiri.
Dalam karya berjudul Your Head is Humming, digambarkan dua manusia perunggu diikatkan dalam satu sarung. Manusia yang di belakang duduk memperhatikan manusia perunggu yang menarik tubuhnya jauh ke depan, seolah ingin melepas belenggu.
Lewat karya-karyanya itu, sebetulnya, apa yang tengah dipertanyakan Teguh? “Ia mempertanyakan sesuatu yang mengangkat problematika yang kompleks,” ujar Jean Couteau, kurator pameran ini. Couteau adalah budayawan yang telah menerbitkan aneka buku seni rupa, termasuk buku tentang maestro Srihadi Sudarsono dan Affandi.
Couteau menganggap sebuah sarung sebagai metafora dari pemberontakan personal seorang Teguh. Ia melihat, sang seniman menyadari bahwa dirinya telah terdeterminasi dan segera berupaya keluar dengan cara memposisikan dirinya sebagai pihak luar yang merdeka.
Hingga akhirnya, Teguh mengurai kerumitan itu pada sebuah filosofi sederhananya. Lewat pameran ini, ia merefleksikan suatu pernyataan sikap bahwa sebenarnya identitas dalam bentuk apa pun tak lebih daripada sarung. “Sebagai manusia, Anda boleh menggunakan, mengenakan, atau justru malah mengesampingkannya,” ujar Teguh. Yang terpenting, Teguh menambahkan, adanya kesetaraan martabat sebagai seorang manusia.
AGUSLIA HIDAYAH