Singgah-singgah
Kala Singgah
Tan suminggah
Durga Kala
Sumingkir....
Tembang itu dilantunkan Ine Febriyanti seraya meraih canting, duduk di depan gawangan, membatik. Sudah tujuh tahun Ine tidak tampil dalam panggung teater. Kita ingat perempuan ini sebelumnya pernah terlibat pementasan-pementasan yang cukup berbobot.
Ia pernah menjadi pemeran utama memainkan karya August Strindberg: Miss Julie (1999), lalu karya Riantiarno, Opera Primadona (2000), dan ikut ambil bagian dalam kolaborasi bersama Teater Rin Ko Gun di Jepang (2001) menampilkan kisah pemburu ikan paus Lamalera: The Whalers of South Sea. Kemudian dalam arahan sutradara Eka D. Sitorus, ia menjadi protaganis utama Ekstremis (2003). Dan kini, setelah lama absen, seorang diri dengan disutradarai Sitok Srengenge ia bakal memainkan Surti, monolog karya Goenawan Mohammad, di Teater Salihara, Jakarta, 12-13 November ini.
Karakter tokoh dalam monolog ini berbeda jauh dengan peran-peran yang pernah dilakoni Ine. Dalam naskah-naskah sebelumnya, Ine tampil sebagai sosok seorang perempuan yang keras, binal, bahkan jalang. Kini ia menjadi Surti―seorang wanita Jawa biasa―seorang ibu rumah tangga, yang mengisi hari-harinya dengan membatik setelah suaminya, Jen, seorang aktivis pergerakan, mati dieksekusi Belanda karena dituduh seorang komunis.
Tapi, drama ini bukan drama realis biasa. Bahkan boleh dikatakan drama ini setengah surealis. Tingkat kesulitan monolog ini cukup tinggi karena isinya bergerak antara kenyataan sehari-hari dan imajinasi. Saat membatik dan mengenang detik-detik terakhir suaminya, Surti melihat tiga burung Sawunggaling yang digambarnya hidup dan terbang keluar dari kain batikannya. Dan menjelang dini hari, ketiga burung itu kembali masuk ke kain mori.
Dramaturgi monolog ini tak menyajikan konflik secara konvensional. Konflik terjadi saat bagaimana Surti berdialog, menerima informasi dari burung-burung imajinasinya itu setelah terbang malam. Dari mereka Surti mendapat cerita-cerita yang mendebarkan batinnya. Burung-burung itu ternyata menguntit suaminya sebelum sang suami mati, burung itu menyaksikan bagaimana anak buah suami Surti atas perintah Jen, sang suami menyerbu sebuah bivak Belanda, namun tiga di antaranya tewas. Salah satu burung itu juga melaporkan bahwa sang suami memiliki kekasih gelap, seorang pejuang, yang jauh lebih muda.
Tantangan Sitok Srengenge adalah bagaimana menghidupkan naskah yang berlapis-lapis ini. Bagaimana ia mampu menjadikan Ine Febriyanti memerankan lebih kurang 10 karakter yang berbeda. Pertama sebagai Surti sendiri, kemudian tiga karakter burung: Cawir, Anjani, dan Baira. Karakter kekasih gelap Jen. Lalu juga karaker laki-laki, antara lain, Jen, dan tokoh-tokoh lain yang semuanya berada dalam dunia antah berantah.
Ine harus mampu menampilkan lapis-lapis cerita ini secara mengalir. Maka dari itu, teknik cerita dan penghayatan Ine harus bagus. Salah penanganan penyutradaraan, Surti akan terlihat lebih sebagai seorang perempuan yang tak waras. Padahal bukan itu yang dimaksudkan naskah. Naskah ini ingin berkisah mengenai dunia batin perempuan Jawa yang terluka.
Selama sebulan lebih Sitok bersama asisten sutradara Seno Joko Suyono menggembleng Ine Febriyanti. Mereka membedah bagaimana monolog ini sesungguhnya berjalan dengan struktur penuh ulang alik waktu, antara dunia kongkrit dan dunia rekaan. Dalam proses semakin ditemukan bahwa alam khayali Surti dalam naskah Goenawan ini penuh dengan penglihatan akan kematian. Misalnya, saat dalam alam khayalnya Surti menceritakan bagaimana burung bernama Baira bagai Jatayu menabrak tiga ekor Mandar untuk menyelamatkan dirinya. Itu sesungguhnya sebuah tindakan heroik sang burung untuk mencegah agar dalam alam kenyataan Surti tidak ikut dibunuh tentara Belanda.
Untuk dramatika pemanggungan, Sitok menambah detail-detail kepada naskah. Tembang yang dilantunkan Surti di atas itu, misalnya, tak ada dalam naskah asli Goenawan. Tembang itu ditambahkan untuk menyajikan bagaimana pada suatu momen saat hendak membatik Surti tiba-tiba dilanda kesunyian yang amat sangat, ketakutan tanpa sebab yang berbaur firasat buruk. Sehingga ia meredam kecemasan dengan menembang.
Tambahan utama lain adalah pada unsur tari. Sitok meminta koreografer Hartati untuk membuat koreografi ketiga Sawunggaling itu. Hartati menciptakan gerakan-gerakan burung yang unik dan berbeda untuk Ine. Sitok juga menginginkan cahaya tak sekadar menjadi ilustrasi panggung tapi juga sebagai aktor. Maka penata cahaya Clink Sugiharto – memanfaat tiga warna Sawunggaling itu merah kembang sepatu, biru laut selatan, warna ungu – menjadi unsur-unsur cahaya yang dalam adegan bisa menjadi penanda dialog.
Bunyi-bunyian dan suara yang ditata komposer Jeffar Lumban Gaol juga diarahkan lebih alegoris. Suara ketiga Sawunggaling itu misalnya. Sawunggaling sesungguhnya makhluk mitologis yang tak ada referensinya. Maka dari itu Sitok meminta kepada Jeffar agar suara burung yang muncul adalah suara burung asosiatif bukan burung tertentu seperti Burung Gagak atau Burung hantu. “Ini suara burung entah,” kata Sitok.
Instrumen utama yang digunakan Jeffar adalah rebab. Tapi, alat musik gesek ini juga diperlakukan tidak biasa. Kita akan mendengar rebab ini digesek –bagai sebuah sayatan yang panjang tanpa putus makin tinggi makin mengiris muram. Sebuah bunyi yang berupaya menyelami dunia dalam―seorang perempuan yang merasakan kepedihan pembunuhan.
Tantangan yang lain adalah setting panggung. Sitok menginginkan panggung yang minimalis, tapi mampu mewakili dunia mistis, dunia gaib Surti. Maka Sitok memilih lantai, kursi semua berwarna serbaputih. Putih menurutnya mewakili ketakterbatasan imaji. Kedua, dengan bantuan arsitek Avianti Arman ia menginginkan latar panggung berupa cermin. Dalam naskah Goenawan, Sawunggaling adalah makhluk cermin. Segala wajah, kata-kata burung itu akan dipantulkan kembali. Dengan backdop berupa cermin ini, maka kita bisa melihat segala gerak-gerik Ine Febriyanti yang menjadi Surti seolah dipantulkan .
Setting juga menghadirkan keranda. Penonton bisa melihat ada keranda putih yang sepanjang pertunjukan seolah tergantung. Pada klimaks – setelah Surti bercerita panjang lebar tentang kematian suaminya ―dan agar menghalau tragedi lain yang bakal terjadi, ia harus menuntaskan membatik, memperbaiki sayap-sayap burungnya yang cacat, penonton akan melihat seorang laki-laki telanjang melintas di bawah keranda.
Seluruh tubuh laki-laki itu putih. Apakah itu arwah Jen? Silahkan Anda menonton.
KALIM/Pelbagai Sumber