Anak Bajang, yang merupakan cerita bersambung di harian Kompas pada 1981, pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 1993. Buku setebal sekitar 364 halaman itu terbagi dalam delapan bab, dan tiap babnya dibagi ke dalam beberapa bagian, rata-rata 7-8 bagian. Dalam pentas baca di Bentara Budaya Jakarta, Kamis malam pekan lalu, itu, Landung Simatupang bersama Fortunata Kaswami Rahayu dan Sri Purwanti membacakan petikan buku ini pada Bab 7 Bagian 7.
Dari situlah kemudian Landung membacakan kembali dalam lakon Alengka Muram--yang dikisahkan dalam bagian 7 itu. Alengka Muram menceritakan gugurnya Kumbakarna, adik Rahwana, di medan laga. Ia menjalankan perintah abangnya maju ke medan perang, meski mengerti bahwa saudara tuanya, sang kepala negara itu, berada di pihak yang salah. Sementara itu, adik Kumbakarna, Wibisana, yang tidak berwujud raksasa, menyeberang ke pihak Rama.
Baca Juga:
Menurut Shindunata, menulis cerita Anak Bajang adalah sebuah kebetulan. Sebelumnya, ia menulis Baratayudha dan Ramayana. Kisah dalam Anak Bajang penuh dengan imajinasi yang simbolik. Menampilkan kemustahilan dan sesuatu yang asing. Meskipun demikian, jalinan cerita yang dibangun sungguh kaya makna, dan masih relevan dengan kondisi kekinian.
ISMI WAHID