TEMPO Interaktif, Jakarta -
Alengka muram, di langitnya mengelam dendam berbulan-bulan hitam. Malam terluka dalam duka-dukanya, hujan rintik-rintik air mata bunga jangga, malam hujan, hujannya lidah menyala nagaraja taksaka....
Baca Juga:
Ya, Kerajaan Alengka sedang muram. Sri Rama menyerang kerajaan yang dipimpin Rahwana itu untuk merebut kembali Sinta. Istri Rama itu disekap Rahwana. Dan hanya peperanganlah yang bisa mengembalikan Sinta ke pelukan Rama.
Aktor Landung Simatupang membaca prosa liris karya Romo Sindhunata itu di Bentara Budaya Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Landung, bersama Fortunata Kaswami Rahayu dan Sri Purwanti, mengambil salah satu kisah epik Ramayana tentang huru-hara di Kerajaan Alengka.
Kisah itu merupakan petilan dari prosa Anak Bajang Menggiring Angin. Malam itu, Landung membacakan Bab 7 bagian 7 dari prosa karya Sindhunata tersebut. Bagian itu bercerita tentang Kumbakarna, raksasa perkasa yang menemui ajalnya di medan perang. Terjadilah huru-hara besar itu. Rahwana kalang kabut karena kerajaannya sudah di ujung kekalahan. Rama menyerbu Alengka dengan dukungan penuh dari bala tentara kera pimpinan Sugriwa.
Rahwana menyuruh Indrajit, anaknya untuk membangunkan Kumbakarna dari tidur pertapaannya. Kumbakarna adalah adik Rahwana. Dibangunkannyalah Kumbakarna. Perutnya dikenyangkan. Semula ia berusaha menampik dan menyarankan Rahwana mengembalikan Sinta yang bukan haknya. Ia tahu tabiat culas kakaknya. Namun, karena panggilan negara dan, apalagi kedua anak dan pamannya tewas dalam perang tersebut, Kumbakarna pun berangkat ke medan perang.
Sebelum ia berangkat ke medan perang, Kumbakarna bertemu dengan Dewi Sukesi, ibunya. Melepas kerinduan dan penyesalan yang amat dalam karena anaknya pamit untuk mati. Mengamuklah ia di peperangan itu, mempertahankan negeri terhadap serangan lawan. Namun, dalam jagat cilik-nya, Kumbakarna mengamuk pula perang yang tak kalah dahsyat. Perang batin berkecamuk.
Matilah Kumbakarna karena ketidakberdayaannya. Perang batin tak juga ia menangkan. Hanya membela negara, yang sama saja membela Rahwana pada pihak yang salah. Kumbakarna hanya menginginkan surga.
Detik-detik menjelang kematiannya, Kumbakarna diceritakan bercakap-cakap dengan pamannya, Prahasta, yang telah meninggal dan berada di alam lain. Berikut ini petikannya.
”Paman, mengapa aku belum diperkenankan berada dalam keilahian seperti dirimu? Sudah banyaklah penderitaan hidupku di dunia?” tanya Kumbakarna penuh belas.
”Sampai adikmu berpulang dari menjalankan tugasnya di dunia. Adikmu, Wibisana-lah, yang dapat membantumu terangkat dari alam penantian ini, karena sungguh yakinlah ia akan jalannya di dunia,” jawab Prahasta.
Dan Bab 7 bagian 7 Anak Bajang ditutup dengan kematian Kumbakarna. Dan ia menunggu adiknya, Wibisana, di alam penantian.
....Prahasta kembali ke alam keilahiannya. Dan Kumbakarna menanti adiknya di alam penantian. Sementara di sana belum reda isak tangis Wibisana. Berlinangan air matanya, jatuh bertetesan di mayat kakaknya, Kumbakarna.
Begitulah Landung menutup kisah yang dipetik dari prosa Anak Bajang malam itu. Kisah epik Ramayana yang serba kompleks itu ditafsir ulang oleh Sindhunata. "Sekarang saya rindu oleh keindahan kata-kata itu. Tapi saya sudah tak bisa mengulanginya lagi," ujar Sindhunata. Anak Bajang Menggiring Angin adalah anugerah yang datang begitu saja. “Saya tak punya pretensi apa pun waktu itu.”
Boleh dibilang, kisah wayang memang masih saja menarik. Tanpa kita mengenalnya pun, kisah epik di berbagai belahan dunia selalu saja mengesankan. Tak lain karena kita memiliki naluri bawah sadar kultural. Jika kemudian kisah semacam ini dihidupkan, bukan rasio lagi yang ditularkan.
Ini juga yang membuat Landung tertarik membacakan kisah epik ini. "Pada dasarnya saya suka cerita pewayangan," ujar Landung. Menuturkan lakon ini memberikannya passion yang berlapis-lapis. Ada sebuah konflik yang selalu salah kedaden. Dan hingga saat ini pun masih saja relevan dengan keadaan saat ini.
ISMI WAHID