Sederet penyair Bali yang ikut tampil, antara lain, Warih Wisatsana, Mas Ruscitadewi, Pragnita Dewi, Purnama, dan Satrio Welang. Mereka membacakan karya lama Sitor di tahun 50-an hingga karya terbarunya. Sitor sendiri sempat membacakan sajak berjudul Mengenang Affandi dan sajak pertamanya, Kaliurang, yang ditulis pada 1949. "Di sini kita berusaha menangkap semangat maestro kita untuk tetap menulis dalam situasi apapun," kata Warih, yang menjadi koordinator acara.
Dalam sesi diskusi Sitor mengungkap rahasia mengapa dia tetap memiliki inspirasi, bahkan setelah mendekam dalam penjara pada masa awal rezim Orde Baru. "Inspirasi dan menulis itu seperti bernafas.Kalau tak melakukannya berarti kita tak hidup lagi," ujarnya.
Ia sendiri mengaku tak bisa mengungkapkan darimana gagasan itu datang, karena sebagai penyair tugasnya hanya membuat sajak. "Yang lain-lain adalah tugas pengamat sastra," kata Sitor.
Sitor mengakui, sajak-sajaknya banyak yang bersifat naratif. Kebiasaannya itu tak lepas dari profesi yang ia tekuni sebelum menjadi penyair, yakni wartawan. Ia terlatih untuk berusaha menangkap detail dari sebuah peristiwa dan merangkainya dalam kata-kata.
Namun, tutur Sitor, kebiasaan bersyair dan mengungkapkan kata-kata indah sebenarnya berakar dari kebudayaan Indonesia yang selalu berusaha mengolah kata-kata sebelum menyampaikan maksud yang sebenarnya.
Karena itu Sitor berpesan kepada penyair-penyair muda untuk menjadi lebih peka terhadap kekayaan sosial budaya dan alam Indonesia untuk dapat menemukan cirinya sendiri. Betapapun sudah menjadi bagian dari dunia global, ciri itu akan menjadi hal yang penting bagi si penyair saat tampil di pentas dunia. "Sebagaimana Affandi yang karyanya mewakili kita di dunia seni rupa," ujar penyair yang mendapat penghargaan Lifetime Achievement dari Ubud Writers and Reader Festival itu.
Perupa Made Wianta yang mendampingi Sitor menyatakan, sebagian besar karya Sitor adalah karya yang bernilai impresionis. Artinya, Sitor berusaha menangkap kesan yang mendalam dari obyek yang dilihatnya secara detail. Lalu, Sitor menungkapkannya kembali dalam kata-kata yang memberikan makna lain dari fakta yang dilihatnya.
Tentu saja, Wianta menambahkan, pemaknaan itu menunjukkan kekayaan referensi Sitor sebagai penyair yang sangat nomaden dan sudah merantau sejak masa remajanya.
ROFIQI HASAN