Adegan itu terbangun dalam latihan Sendratari Matah Ati di Aula Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Surakarta, Jawa Tengah, Kamis pekan lalu. Sendratari itu digarap oleh Atilah Soeryadjaya, salah satu cucu Mangkunegara VII. Belum ada kepastian kapan sendratari itu akan dipentaskan di Indonesia. Yang jelas, karya perdana Atilah itu akan menjadi pembuka dalam Pesta Raya 2010, Malay Festival of Arts, 22 dan 23 Oktober mendatang di Esplanade Theatre, Singapura.
Boleh dibilang, Matah Ati adalah sebuah karya besar. Tidak sekadar tari, pertunjukan itu juga memadukan gerak tubuh, musik gamelan, serta tembang tradisional yang dilantunkan secara merdu oleh para penari. Unsur-unsur yang digunakan terinspirasi dari pertunjukan Langendriyan, gubahan Mangkunegara VI.
Dalam latihan berdurasi 90 menit itu, sebanyak 60 penari membawakan sendratari tersebut dalam 20 adegan, yang terbagi dalam lima babak. Sayang, dalam latihan itu, kostum batik koleksi Iwan Tirta tidak dikenakan. Mereka hanya mengenakan kaus putih yang dipadu dengan celana hitam.
Cerita Matah Ati diangkat dari kisah nyata yang menceritakan perjalanan cinta antara Raden Mas Said dan seorang kembang desa dari Wonogiri yang bernama Rubiyah. Mereka berdua bertemu dalam sebuah pertunjukan di tengah desa. Dalam kisah asmara itu, Rubiyah juga tampil mendampingi Raden Mas Said dalam melawan penjajah, dengan menjadi panglima bagi sebuah pasukan prajurit perempuan.
Raden Mas Said kemudian berhasil menjadi seorang raja dengan gelar Mangkunegara I. Rubiyah pun mendampinginya sebagai istri dengan gelar Raden Ayu Matah Ati, karena terlahir di Desa Matah. Keturunan dari perempuan gagah berani itu nantinya juga menjadi raja-raja di Mangkunegaran.
Cerita kisah cinta dan perjuangan Matah Ati itu bukan isapan jempol. Meski demikian, literatur di perpustakaan mengenai kisah perempuan tersebut sangat minim. Sejarah itu lebih banyak diceritakan melalui lisan. Beberapa gagasan dan ide pun dimasukkan sehingga cerita Matah Ati bisa terangkai secara utuh.
Menurut Atilah, ia sangat tertarik menampilkan cerita tersebut di atas panggung. Selain bercerita tentang leluhur dan asal-muasalnya, Matah Ati membuktikan bahwa kesetaraan gender telah muncul di dalam budaya Jawa di abad ke-18. Selama ini banyak anggapan bahwa tradisi Jawa tidak memiliki perspektif kesetaraan gender karena menempatkan perempuan sebagai kanca wingking, hanya mengurusi keperluan di dalam rumah. Melalui karya tersebut, Atilah ingin mengubah pandangan itu.
Atilah berhasil membawa karya itu tampil di salah satu tempat pertunjukan seni tersibuk di dunia: Esplanade. Perlu waktu hingga tujuh bulan untuk meyakinkan penyelenggara Pesta Raya 2010 bahwa Matah Ati layak tampil sebagai pembuka dalam festival seni Melayu tersebut. "Mereka akhirnya yakin setelah kami menyerahkan rekaman latihan," kata Atilah.
Dalam penggarapannya, Matah Ati akan menggunakan tata panggung serta artistik yang dirancang oleh Jay Subyakto. Dia merancang sebuah panggung kontemporer cukup unik karena dibuat miring 15 derajat. Tujuannya, agar setiap adegan yang terjadi di atas panggung seberat 25 ton itu dapat disaksikan oleh penonton secara utuh. Saat ini, panggung tersebut telah diangkut ke Singapura.
Adapun penggarapan musiknya diserahkan kepada Blacius Subono, dalang sekaligus komponis dari Institut Seni Indonesia Surakarta. Musik digarap dengan gamelan lengkap, ditambah biola serta trompet.
AHMAD RAFIQ