Konsep pertunjukan yang dipersiapkan setahun lalu ini boleh dikatakan minimalis. Mengawinkan komposisi musik dan sastra layaknya opera yang berlaku di Eropa. Tapi garapan ini menjadi tak biasa karena naskah yang ditampilkan bukan sebuah cerita, tapi juga wacana tentang salah satu tokoh revolusi Indonesia, Tan Malaka. Karena itu, garapan ini bisa disebut opera esai.
"Tidak akan ada tokoh Tan Malaka di sini," ujar penulis naskah, Goenawan Mohamad, di sela latihan pekan lalu. Para pemain hanya menuturkan kisah cerita (libreto) tentang sosok Tan yang kita tak pernah tahu di mana keberadaannya.
Dibandingkan dengan Soekarno, Hatta, maupun Sjahrir, misalnya, Tan lebih banyak bergerak di bawah tanah. Ia bahkan tidak muncul saat Proklamasi Kemerdekaan. Sepak terjangnya hingga wafatnya boleh dibilang masih menjadi sebuah misteri. Opera esai ini tak lain adalah sebuah penegasan riwayat Tan Malaka atas ketidakhadirannya.
Aktor Adi Kurdi dan Wani Darmawan adalah penutur yang menceritakan kisah Tan. Adapun Binu Sukarman dan Nyak Ina Raseuki (Ubiet) menjadi pendendang aria-aria yang dikomposisi oleh Tony Prabowo. Antara penutur dan pendendang aria itu kadang menyampaikan naskah yang bersilangan, tapi tak jarang juga paralel. Tidak ada aktor yang memerankan satu tokoh. Juga tak ada dialog antar peran itu.
Musik, dalam opera semacam ini, menjadi bagian yang sama penting di samping naskahnya. Tak hanya sebagai iringan, tapi juga ikut menuturkan kisah melalui aria-aria. "Komposisinya memang konvensional. Semuanya disesuaikan dengan naskah," kata Tony Prabowo. Musik melibatkan pemain-pemain orkestra yang dipilih karena skill-nya memenuhi. Masing-masing instrumen hanya dimainkan oleh satu pemusik. Josefino Toledo, pengaba (conductor) asal Filipina didapuk untuk memimpin orkestra mini itu.
Yang juga menarik, desain panggung yang akan ditampilkan dalam opera ini mengambil gaya Rusia. "Mencoba menangkap kembali pengalaman Tan Malaka dalam revolusi kiri di Eropa," ujar Goenawan.
Panggung dibentuk seperti jalur-jalur dari tumpukan kayu setinggi 2 meter. Di bawahnya terdapat ruang-ruang kecil dari rusuk bangunan dan difungsikan laiknya penjara bawah tanah. Desain panggung semacam ini memang pertama kali dalam sejarah teater di Indonesia.
ISMI WAHID