Dalam bahasa Jawa peristiwa semacam itu dikenal dengan kalabendu. Dalang sekaligus seniman musik tradisi, Blacius Subono, menggarap pertunjukan wayang Sandosa dengan iringan musik tradisional dalam judul yang sama, Kalabendu. Sajian seni kontemporer ini digelar di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa dan Rabu lalu dalam perhelatan Art Summit Indonesia 2010.
Yang menarik, pertunjukan dibuka dengan satu garapan lagu yang menggabungkan tangga nada slendro dan pelog. Susunan melodinya memang sedikit sumbang, tapi Bono – sapaan akrab Blacius Subono – mampu meraciknya dengan apik. Nada yang tersusun menjadi sangat rapat sehingga membantu menawar kesan sumbang tadi. Subono seperti tengah berkesperimen. Ia memperlakukan nada, yang setelah penggabungan itu berjumlah 9, menjadi sebuah melodi. Tangga nada gabungan ini ia beri nama Longdro.
Subono mengemas pertunjukan wayang dengan artistik multilayar. Beberapa tokoh wayang – seperti Ismoyo, Manikmoyo dan Tejomoyo sebagai tokoh sentral – dimainkan dalam tiga layar yang ditempatkan dalam beberapa lapis. Wayang-wayang itu dimainkan dari balik kelambu dan kita hanya bisa melihat bayangan yang terpantul dari sorot lampu. "Saya memang tidak ingin menampilkan tokoh secara vulgar," ujar Subono usai pertunjukan.
Dua tahun lalu, lakon ini memang pernah digarap di Solo, Jawa Tengah. Tapi pertunjukan kali ini lebih disederhanakan dari sisi naskah. Selain itu, aransemen musik tradisi yang digarap dengan kontemporer juga mengalami perubahan. Lalu, penabuh gamelan dan pengrawit juga membawakan lagu dengan lirik jenaka. Mereka membawakannya dengan bersahut-sahutan, seperti model acapella.
Konsep pertunjukan tak hanya menghadirkan musik dan wayang, tapi ia juga menyertakan adegan tari di sana. Bahkan ada dialog kecil antara tokoh Semar dan Togog yang diperankan oleh pemain.
Alur pengadegan memang dibuat tanpa gradasi suasana. Layaknya pertunjukan wayang, tak ada sesi jenaka atawa goro-goro. "Saya selalu menghindari goro-goro karena akan menimbulkan pendangkalan cerita," kata Subono.
ISMI WAHID