Yang menarik, pertunjukan itu tak hanya wayang yang dilakonkan di depan layar. Tapi pementasan di Gedung Kesenian Jakarta itu panggung diubah layaknya pertunjukan teater. Sebanyak tujuh laki-laki penabuh gamelan dan dua pemain, yaitu Hanindawan dan Ida Lala, sesekali bersahutan interaktif dengan dalang.
Cebolang adalah tokoh sentral dalam cerita ini. Remaja nakal, anak dari seorang kyai Syek Akhadiyat ini mengembara untuk mencari jatidiri. Dalam pengembaraannya itu carut marut kehidupan telah ia jalani. Tak hanya riuh nafsu birahi yang kemudian diumbar, tetapi pencarian tokoh ini terhadap illahi yang menjadi keyakinannya.
"Saya sempat tersesat. Begitu banyak cerita menarik dalam kisah ini," ujar Slamet Gundono usai pentas. Begitu banyak kisah menarik dari tokoh Cebolang. Bahkan, setelah melalui proses pembacaan ulang, plot cerita masih terlihat bertumpuk-tumpuk. Tapi Slamet, dengan gaya komediannya, mampu membikin guyonan segar sehingga alur cerita tak terlihat kaku.
Kisah Cebolang sangat jarang diangkat. "Dari naskah kuno ini jarang yang mengangkat cerita tentang remaja nakal," kata Elizabeth. Begitu banyak cerita tentang pengembaraan Cebolang yang ia temukan dalam Serat Centhini. Dari 12 jilid Serat Centhini, empat di antaranya khusus menceritakan tentang tokoh ini. Dan ia harus berusaha keras untuk memilihnya.
Tahun lalu, lakon ini pernah ditampilkan di teater kecil Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. "Naskah tidak begitu berbeda," ujar Slamet. Hanya, ornamen panggung yang diubah. Kehadiran portal sederhana yang dijaga oleh pemain yang memerankan petugas di depan panggung ditambahkan sebagai ornamen. "Portal ini menggambarkan bahwa saat ini banyak manusia menciptakan portalnya sendiri. Mereka berubah menjadi paranoid," Slamet menjelaskan.
ISMI WAHID